40 hari sebelum hari ini. Ibu, aku selalu berpikir dan berpikir, tentang eksistensiku di dunia ini. Mengapa aku tetap bisa hidup dengan nestapa yang melingkupi hatiku hanya dengan menyimpan kerinduan padamu. Saat aku putus asa dan tak tahu harus melakukan apa, terpikir untuk mengakhiri hidup. Tapi ketakutan akan tidak bisa menemuimu di alam sana, membuatku berpikir ulang seribu kali. Aku ingin pergi menemui mu ibu. Tapi apa gunanya kepergianku itu jika pada akhirnya aku tidak bisa bersamamu?
Ibu kata mereka, mengakhiri hidup dengan terpaksa adalah dosa besar. Rohnya akan tergantung antara langit dan bumi dan tidak akan pernah tenang. Apakah benar begitu ibu? Bukankah itu artinya mereka tidak akan tinggal dalam liang lahat yang hangat dan tenang itu? Dulu kau pernah bercerita padaku, seperti apa keadaan liang lahat untuk mereka yang baik dan takwa. Aku merindukan ceritamu itu ibu.
Setiap kali aku melewati tanah pemakaman, aku selalu memberi salam pada penghuninya dan bertanya-tanya, apakah ini akan menjadi rumah masa depanku? Aku membayangkan mereka berbaring dengan tenang di bawah gundukan-gundukan tanah beku itu. Menunggu dalam kehangatan pelukan pertiwi. Damai sekali rasanya..
Ibu, aku tidak pernah menjadi orang baik sebaik dirimu. Yang selalu tabah, sabar dalam menghadapi cobaan hidup. Yang selalu baik pada siapa saja, bahkan pada orang yang paling menjengkelkan sekalipun. Jika mengingat itu, kadang aku ragu, apakah aku ini memang benar anakmu? Kenapa aku tidak bisa seperti dirimu? Kenapa aku tidak mewarisi sedikit saja sifat baikmu? Kenapa hidupku selalu penuh emosi, ketidak puasan diri antipati...
AKu ingin sepertimu ibu. Ingin menjadi baik seperti dirimu. Apa yang harus aku lakukan? Beritahu aku, ibu. Ku mohon....
Aku akan berusaha merubah diri ini jika aku tahu caranya. Aku ingin menjadi manusia yang baik, yang solehah agar bisa menemui mu dalam keadaan Khusnul hotimah...