Ibu..duka itu menyapaku. Ketika aku kembali pada realita hidup bahwa engkau tidak lagi berada di sisiku, duniaku bagaikan di bawah. Tanpa mu ibu, aku bagai bunga tanpa mahkota, bagai malam tanpa bintang, bagai kembara yang berjalan tanpa penunjuk arah. Aku tersesat. tersesat dalam gelap dan gemerlapnya kehidupan.
Ibu, setiap orang merasakan cinta didalam kehidupannya. Cinta..kasih sayang nyata dari lubuk sanubari yang terdalam. Yang letaknya bahkan bentuknya tidak dapat di deteksi dengan tepat. Apakah bentuknya waru merah hati dengan anak panah yang menancap atau sekuntum bunga dengan seekor kumbang? Tiada definisi yang tepat untuk cinta. Bahkan kehadirannyapun tanpa di duga.
Oh ibu… Cinta itu menyapaku. Melalui seorang Arjuna rupawan yang menyapaku dari balik kegelapan. Katanya bentuknya cinta bukan daun waru.. tapi bunga merah yang di isap sarinya oleh si kumbang jalang. Betulkah?? pada siapa aku bertanya ibu?? Engkau tiada. Kata pujangga dalam cinta ada kepercayaan. Tapi adakah kepercayaan dalam cinta yang di sandiwarakan?
Dungunya aku ibu…, karena terlalu mempercayainya. Aku adalah bunga merah yang sedang berkembang, sementara dia kumbang jalang penghisap sari pati kehidupan. Dia menghisapku ibu… hingga aku layu dan beku. Kumbang itu inu… dia adalah nerakaku, malaikat pencabut nafas kehidupanku, pusaran duka dan akumulasi segala nestapa,