Puisi Cinta Yang Hilang bag 5. ...karena aku tak punya keberanian untuk menghadapi kenyataan yang sebenarnya. Aku masih mencintainya. Bahkan setelah aku mempunyai suami sebaik Aldi dan buah hati yang melengkapi hidupku dengan kebahagiaan tak terperi.. aku masih tidak bisa berhenti mencintai Rio. Rio ada dalam pikiranku, bersemanyam dalam hati, mengiringi detak jantungku dan tersembunyi dalam aliran darah ku. Melupakan Rio sama dengan menghentikan aktivitas hidupku. Ketika aku memejamkan mata, bayangan Rio yang pertama kali melintas. Ketika aku membuka mata, wajah rio yang ingin sekali ku lihat. Rio adalah hidupku. Aku tidak pernah mencintai pria lain seperti aku mencintai Rio... tidak juga ketika aku menjadi istri Aldi....
"Sella..." Aldi berbisik memanggil namaku. Aku rasakan hembusan nafasnya yang hangat menerpa telingaku. Dan tanganya yang kekar mendekapku. Aku terisak lirih... antara sedih dan merasa bersalah. Mendengar isakku, Aldi memutar badanku menghadapnya. Aku hanya bisa menunduk jengah, tak berani menatapnya. Tak ingin dia melihat air mata yang mengalir di pipiku... karena air mata ini bukan untuknya.. tapi untuk pria lain yang terlarang untuk kucintai tapi keberadaanya tak bisa ku tepis dari hati. Aldi meraih daguku dan mengangkat wajahku. Bola matanya yang kelam menatap tepat kearahku. Ada resah di sana.. tapi bukan resah karena cemburu, tapi resah yang terbalut rasa iba. Seperti merasakan kepedihan hatiku, suamiku mendekapku erat di dadanya. Tangisku pun pecah. Rasa bersalah dan rasa sedih berbaur menjadi satu, hingga aku tak tahu rasa mana yang takarannya lebih besar. Rasa bersalah yang menderaku atau rasa sedih yang menyesaki rongga dadaku. Yang aku tahu... aku merasa damai dalam dekapannya. Merasa tenang dalam pelukannya...
Udara dingin menyusup melalui ventilasi udara ketika aku terbangun dalam pelukan Aldi. Aku mengangkat wajah mendongak kearahnya. Di saat bersamaan, Aldi menunduk menatap ku dengan seulas senyum penuh kasih sayang. "selamat pagi, sayang." sapanya sambil mendaratkan sebuah kecupan lembut di keningku. Aku mencoba mengumpulkan kesadaranku. Subuh hampir lewat. Cepat-cepat aku bangkit, sampai lupa kalau aku sedang tidak berbusana. Aldi tersenyum dan dengan sigap membalutkan selimut ke tubuhku. Dengan tersipu malu aku bergegas masuk ke kamar mandi. Aldi mengikutiku. Dia menghidupkan heater dan memenuhi bathtub dengan air hangat. Setengah penuh dia meraih selimut yang membalut tubuhku dan membawanya keluar sambil menutup pintu kamar mandi. Aku membersihkan diri sebelum berendam dalam bathtub. Tak lama kemudian Aldi datang dengan sehelai handuk kering di tangan, "subuh hampir habis." Aku cepat-cepat keluar dari bath tub membilas tubuhku, berwudhu dan mengambil handuk dari tangan Aldi lalu bergegas berganti baju untuk menjalankan kewajiban sholat 5 waktu.
Selesai Sholat aku melipat mukenah dan sajadah. Aldi bersendekap mengamatiku dengan sikap menunggu. Aku tersenyum kearahnya dan bertanya, 'kenapa?" Aldi menghampiriku, mendudukan aku di tepi tempat tidur, sedangkan dia berjongkok di depanku sambil berkata, "Sella, jangan salah paham. Aku tahu ke galauan hatimu. Dan sebagai suami, aku mengizinkanmu untuk menghabiskan waktumu sebanyak mungkin dengan Rio.. jika kau anggap itu perlu. Kau pun bisa membawa anak-anak bersamamu.... aku mengizinkanmu! Kau tak perlu merasa tak enak padaku." Aku menatap Aldi mencoba mencari kesungguhan di matanya. Aldi mengangguk pasti. Melihat ketulusannya, aku tak dapat menahan airmata. Sekali lagi aku merasa begitu beruntung mempunyai suami sebaik Aldi. Kupeluk suamiku itu dengan penuh rasa terima kasih. AKu berjanji... walau dalam hatiku hanya ada Rio, tapi diriku hanya untuk Aldi... aldi seorang. Aldi berdiri diatas lututnya, menghapus ait mataku dan memelukku erat. AKu membalas pelukannya... menemukan kedamaian yang kucari dalam kehangatan dan aroma segar tubuhnya.
Dengan izin dari Aldi, setiap hari aku menemui Rio. Terkadang hanya untuk menyapa hallo saja.. setelah mengantar anakku ke sekolah. Terkadang mengajak anak-anak untuk bermain denganya. Kondisi Rio tidak berubah bahkan semakin hari semakin buruk. Wajahnya memang selalu tirus dan pucat tapi ada sebersit kebahagiaan terpancar di sana. Terutama saat sedang bermain dengan anak-anak. Awalnya dia masih bisa bermain dengan anak-anak, tapi lama-lama dia hanya bisa duduk menunggui mereka bermain. Aku berusaha sebaik mungkin bersikap wajar, tidak menunjukan rasa sedih ataupun iba. Aku bahkan cenderung bersikap ketus padanya yang di tanggapi Rio seolah-olah itu hal biasa.
"Sella,...semakin dewasa seseorang itu berubah. Tapi kau... selain bertambah usia tak ada yang berubah darimu.." ucap Rio lirih dengan senyum di tahan.
"Maksudmu selain aku bertambah tua?" sergahku sambil memasang wajah cemberut. Rio tertawa renyah, "kau yang berkata begitu... bukan aku." Aku hendak membalas kata-katanya, ketika aku melihat tiba-tiba Rio menundukan wajah dengan murung. Aku menarik kursiku mendekatinya. Kusentuh tangannya dengan was-was sambil bertanya, "ada apa Rio? mana yang sakit?" Rio mengangkat wajahnya mengamatiku sejenak, lalu tertunduk kembali. Aku menjadi was-was, "Rio..?" Rio tersenyum dan menunjuk dadanya, "sakitnya tuh di sini, Sella." Aku pura-pura cemberut, "serius, Rio!" Rio mengangguk, "ku serius, Sella. Sakitnya tuh disini... aku sama sekali tak ingin membuatmu dan anak-anak menghabiskan waktu bersamaku. Tapi aku merasa bahagia dengan kehadiran kalian. AKu merasa sempurna. Aku hanya takut....ketika saatku tiba, akan menjadi berat bagiku untuk meninggalkan kalian semua."
"Stttt... jangan pikirkan itu, Rio. Yang penting jalani saja apa yang ada sekarang ini," aku menahan airmata kuat-kuat agar jangan sampai jatuh, "mereka sangat senang setiap kali kuajak menemui om Rio nya. Bahkan sebelum tidur, mereka selalu bertanya apakah besok bisa main bersama om Rio lagi? AKu tidak ingin kau menunjukan kesedihanmu di hadapan mereka."
Rio meraih tanganku, dan dengan ragu-ragu bertanya, "Sella... mau kah kau memaafkan aku? Aku telah menyakitimu. AKu tak kan pergi dengan tenang kalau kau masih mendendam padaku. Bisa-bisa aku hanya berputar-putar di sekelilingmu saja.." Dalam keadaan lain, aku pasti tertawa mendengar gurauannya. Tapi kali ini, hanya ada rasa haru di hati, "aku sudah lama memaafkanmu, Rio. Tapi rasa sakit hati yang ku rasakan, tidak mudah untuk di halau pergi..."
"Apakah sekarang kau masih sakit hati padaku?" tanyanya dengan rasa ingin tahu. AKu menggeleng cepat, "tidak lagi. Aku sudah mencoba memahami posisimu. Kalau aku yang ada dalam posisi itu, aku pun pasti melakukan hal yang sama padamu." Rio dengan marah menggeleng, "tidak! Aku tidak akan mengizinkan kau melakukan itu. Jika hal seperti ini terjadi padamu, aku akan selalu mendampingimu. AKu tidak akan mengalihkan mataku dan perhatianku darimu sedetikpun. Karena bahagiamu adalah bahagiaku. Dan aku tidak merasa bahagia tanpa kau ada di sisiku. Kalau kau ingat puisi terakhir yang kukirim padamu... itulah perasaanku, kacuali kehilangan satu kata 'tidak' di baris terakhirnya. Itulah isi hatiku sebenar. Apakah kau masih menyimpannya?"
Aku menggeleng, "aku sudah membuangnya...puisi cinta itu sudah hilang. Tak ada lagi Rio. Dan akupun tak ingin mengingatnya. " Rio tersenyum, "tak apa. AKu masih punya salinannya. Puisi cinta itu, aku tak pernah menulisnya untuk wanita lain. Karena tak ada yang lain dalam hidupku...hanya dirimu, Sella." AKu diam tak menyahut. Ada rasa marah merasuki hatiku ketika teringat bagaimana hancurnya hatiku saat menerima puisi cinta yang sekaligus surat putus dari Rio. Tapi aku mencoba mengontrolnya... mengontrol rasa marah yang kini sudah tidak berguna lagi. tak ada gunanya memendam marah atau benci. Rio bukan meninggalkan aku. Tapi mengorbankan kebahagiaannya untukku.
"Sella.. bolehkan aku meminta sesuatu darimu?" tanyanya dengan enggan. Aku menoleh dan mengangguk. Rio menatapku dengan tatapan memohon, "jangan pernah menangis untukku. Ingatlah... bahwa apapun yang terjadi, setidaknya ada satu orang yang akan merasa sangat bahagia karena melihatmu bahagia. Maukah kau berjanji untukku?" Aku tak tahu harus menjawab apa. Mendengar permintaanya saja sudah terbentuk genangan di mataku yang siap jatuh jiika kubiarkan. Aku bangkit dari duduk tanpa berani menatapnya, "aku harus pulang, Rio. Sudah sore..."
"Tunggu Sella.. kau belum menjawabku!" panggilan Rio menghentikan langkahku. Cepat-cepat aku menghapus airmata yang siap meluncur jatuh dengan ujung kerah bajuku agar tak terlihat olehnya. Setelah aku merasa tidak ada lagi airmata yang menggantung aku menoleh ke arah Rio dengan wajah yang kubuat judes, " hai Rio, kenapa kau pikir aku akan menangis? Setelah apa yang kau lakukan, mengapa kau pikir aku masih punya air mata untukmu? Aku memang sudah memaafkanmu, tapi aku masih sakit hati padamu. Jadi jangan ge er ya.." Rio hanya tersenyum dengan tatapan penuh pengertian. Aku sangsi kalau dia mempercayai apa yang ku ucapkan. Aku mengajak anak-anak berkemas dan berpamitan pada Rio. Sebelum pergi Rtio berpesa, "Sella, jika sempat... datanglah lagi besok...aku akan menunggumu." AKu tidak mengiyakan atau menolak. Aku hanya menarik bibirku agar telihat tersenyum paksa. Rio melambaikan tangan sambil tertawa bahagia pada anak-anak yang membalas lambaian nya dengan rasa bahagiaan yang serupa.
***
Siang itu, sepulang sekolah aku mengajak ketiga anakku bermain ke rumah Rio. Suasana sangat sepi mencekam. Adik perempuan Rio yang menyambutku sambil menangis dan memelukku. AKu sudah menduga yang tidak-tidak. Ingin rasanya segera menghambur masuk kedalam...jika saja aku tidak membawa anak-anak bersama. Yang laki-laki bisa di selimurkan tapi Tania, yang bergayut manja dalam gendongan, enggan ikut orang lain. Mau tak mau aku menelpon Aldi agar datang.
Dengan tergopoh-gopoh Aldi menghampiriku yang sedang menunggunya, "bagaimana keadaanya?" Aku menggeleng, "tidak tahu. Tania tak mau dipisah dariku. Bisakah abang ajak mereka pulang? Aku akan tinggal.." Tanpa komentar apa-apa, Aldi mengangguk. Dia meraih tubuh tania dan mengajak kedua superheroku pergi. Tapi sebelum pergi Aldi menyempatkan diri memelukku, mengelus rambutku dan mengecup keningku.
Setelah anak dan suamiku peri, aku masuk kedalam kamar Rio. Kulihat arjunaku terbaring tak bergerak di atas divannya yang besar. Matanya terpejam dalam damai. Tapi dadanya masih bergerak turun naik. Mama Rio menangis sambil memegangi tangan anaknya. Melihat aku datang, dia segera bergeser memberiku tempat. Dalam isaknya mama Rio berkata, "tadi dia menanyakanmu, Sella. Dia ingin bertemu denganmu. tapi kini dia tak sadar lagi." Aku menyentuh tangan Rio lembut dan berbisik di telinganya, "Rio... kau ingin bertemu denganku?" Entah mengapa tak ada air mata yang siap meluncur dari mataku. Hatiku yang selalu merasa sakit setiap kali menatap Rio, kini terasa lapang oleh kehampaan. Seperti sesuatu siap terengut pergi.... Puisi Cinta Yang Hilang bag 6