Senyap!
“Kesunyian adalah teman sejati…”
Sudah 1 minggu tak terdengar kabarnya. Tak ada sapaan darinya. Tentu saja,
dia tak akan menyapa. Mengapa pula harus di tunggu? Dia kan sudah bilang, dia
tak akan pernah memulai menyapa, karena takut mengangguku. Entah itu yang
sebenarnya atau hanya alasan saja. Hanya dia dan Tuhan yang tahu. Aku hanya
bisa menduga-duga dan mengambil kesimpulan.
Kalau dia tak mau menegurku karena takut mengganggu, maka logikanya
saat aku menyapanya, dia akan membalas sapaanku dengan ramah, gembira dan
hangat. Tapi ini tidak, setiap kali aku menyapanya dia seperti engan untuk
membalas. Ada saja alasannya. Dan yang terakhir, yang membuatku kesal, marah, kecewa dan memutuskan untuk berhenti berupaya
adalah ketika dia bilang dia tidak sempat membalas pesan BBM ku tapi dia sempat
mengganti DP dan membalas pesan temannya yang lain. Bayangkan!
Mungkin aku yang bodoh, orang sudah tak mau berhubungan lagi, masih
juga di kejar-kejar. Di suruh telpon, dan di komplen kalau lambat balas pesan.
Maunya sih agar dia tahu, kalau dia berarti bagiku., tapi ternyata dia tidak
suka dan memberi warning berkali-kali dengan menyebutku teman abal-abal. Yang memang
sengaja ku abaikan meski nyelekit di hati. Ya mau gimana lagi, sudah karakter.
Aku tidak terbiasa melepaskan seorang kawan apalagi kawan dekat begitu saja. Aku
ingin semua kawanku bisa ku peluk, ku sapa, ku akrabi, ku dekati sehingga
terjalin chemistri.
Dalam berteman, aku tidak menuntut di sapa setiap saat, di beri ucapan
salam dan sebagainya. Cukup bila aku menyapa, balaslah menyapa. Itu saja. Karena
aku pun akan melakukan hal yang sama. Mungkin dia tidak tahu, bahwa ketika aku
menyapanya…itu artinya aku sedang mengingatnya, bisa jadi sedang merindukannya…
tapi ya…
“Tumben senyap!” tanya belahan jiwa sambil menjatuhkan tubuhnya di sofa.
“Biasanya berbisik-bisik sambil nyekiki…”
“Memang kuntilanak!” lirikku tak terima.
“Hampir serupa! Kamu tahu nggak beb, teman-temanku yang ronda sering
cerita kalau dengar dirimu telpon-telponan sampai larut malam. Kadang mereka
penasaran dan berhenti untuk mendengarkan.”
Aku terbelalak, “hah? Iya ta say??”
“Iya. Mereka merasa aneh aja, kok dirimu betah telponan begitu lama…”
“Mereka nguping ya?”
“Iya, tapi nggak kedengaran dengan jelas katanya. Tapi mereka bilang
kalau suaramu bernada manja dan mesra. Kayak
orang lagi telpon pacar..”
“Muahahaha……” aku tak bisa menahan tawa.
“Hush! Jangan lebar-lebar…” tegurnya sambil menutup mulutku.
Kukatupkan mulutku dengan cepat hingga tergigit telapak tanganya. Suamiku pun
mengaduh kesakitan. Lalu sambil megosok-gosok tanganya yang bekas ku gigit dia
bertanya, “sekarang kenapa tidak telponan lagi? Bertengkar? Marahan?”
“Mana ada…!” sangkalku.
“Trus? Kenapa senyap?” kejarnya.
“lagi coba berdamai dengan perasaan…” jawabku sekenanya.
“Memang apa yang kau rasakan?” tanyanya sambil menatapku penuh
perhatian. Aku balik menatapnya sambil menimbang apakah harus membagi masalahku
dengannya atau menyimpannya sendiri saja. Tapi mungkin dengan bercerita dengannya,
bebanku akan sedikit ringan.
Lalu dengan lancar kuceritakan
semuanya, tanpa ada yang tertinggal sedikitpun.
“Dia menyebutmu teman abal-abal?”
Aku mengangguk, “iya. Dia bilang untuk mengingatkan akan posisinya
sebagai teman dunia maya. Dia merasa kalau teman dunia maya bukanlah teman
sebenarnya. Teman dunia maya sama dengan teman abal-abal…”
“Apakah kau menganggapnya seperti itu?” tanya suamiku.
Aku menggeleng tegas, “tentu saja tidak! Aku menganggapnya sebagai
teman baikku. AKu menyayanginya. Aku merasa nyaman bicara dengan dia. Hanya saja terkadang kalau
aku kesal, aku suka meninggikan suara padanya. Atau mengatainya sesuka hatiku.
Mungkin di situ dia tersinggung dan memutuskan untuk menjauhi aku.”
“Iya aku sering dengar itu, kadang dirimu kalau bercanda atau kalau
marah suka keterlaluan. Padahal kan dirimu belum lama berteman dengannya. Dia
belum memahamimu sepenuhnya. Kejahilanmu, kejutekanmu….kekeras kepalaanmu…”
“Dia tahu itu, say. Dia bilang
dia tahu, di bahkan pernah bilang kalau kata-kataku baginya seperti angin lalu, yang masuk telinga kanan keluar telinga kiri,... tapi entah juga… kalau dia cuma asal mangap, kayak ikan di
empang!” ucapku menirukan kata-kata teman mayaku itu.
“Lalu sekarang bagaimana?”
“bagaiman apanya? Teman-temannya sudah pernah memberitahu dia kalau aku
tak sebaik yang dia pikirkan. Mungkin….”
“Kau mungkin tak sebaik yang dia pikirkan, tapi kau juga tak seburuk
yang mereka sangkakan, beb…! Hanya saja, terkadang kau selalu bersikap,
bertindak dan berkata-kata yang membuat orang salah paham padamu. Mereka tidak
tahu kalau kau melakukan semua itu untuk melindungi hatimu sendiri…”
“ya… dan ini hasilnya. Dia pikir aku mengatakan hal itu karena aku
ingin mengatakannya. Dia tidak tahu kalau ada pemicunya… dan aku hanya
menyahuti apa yang di katakan orang itu saja. Dan aku sama sekali tidak
menyangkah kalau kata-kataku kemudian di daur ulang dan di sampaikannya pada
semua orang. Aku buruk di mata mereka, say.
Dan aku tidak pernah tahu itu… itu yang kusesalkan!”
“Aku terbiasa berkata buruk tentang diriku sendiri….bahkan sebelum
orang tahu keburukanku. Dengan cara itu akau merasa aman dari praduga dan
prasangka. Tapi ini sungguh di luar dugaan, aku merasa baik-baik saja, tapi
ternyata aku hina di mata mereka…” tanpa terasa air mata jatuh di pipiku saat
mengatakan itu, “mereka menganggapku sebagai orang yang suka mengunjingkan
orang lain. Suka menjelek-jelekkan teman.. padahal, ini pertama kalinya aku
menjalin pertemanan…”
“Sabar, itu resiko berteman. Dalam setiap pertemanan pasti ada masalah
dan problema…” ucap suamiku.
“…tapi bukan masalah seperti ini! Ini sudah merusak karakter….!”
“karena itu kau memilih senyap? Karena merasa karaktermu di rusak?”
tanya nya.
Aku menatapnya, coba mencari maksud kata-katanya di balik bola mata
sendunya, “itu menyakitkan. Dan aku tidak siap….”
“Tidak siap untuk apa? Kehilangan seorang teman?” Suamiku memalingkan
wajahku agar menatapnya, “lihat mataku beb, mana yang lebih penting bagimu,
temanmu itu atau karaktermu? Kita hidup bersosial. Tidak bisa lepas dari
polemik. Hal seperti itu tidak hanya terjadi di dunia maya, tapi di dunia nyata
juga banyak terjadi. Kau menjaga dirimu dengan baik di dunia nyata, tapi tidak
setiap kali keberuntungan berpihak padamu. Jadikan ini pelajaran…. Jangan mudah
terpancing oleh provokasi orang…”
“..aku….”
Suamiku mengelus rambutku dan mengecup keningku dengan lembut, “aku
tahu dirimu beb. Saat ini kau sedang terbawa emosi. Tapi emosi tidak pernah bisa
mengalahkanmu kan? Tidak penting apa yang di pikirkan orang tentangmu, tidak
pula perlu menjelaskannya… karena orang
yang menyayangimu, tidak butuh semua itu…”
“…ok, “putusku akhirnya, “kita tunggu balasannya saja!”
“balasan apa?” tanya suamiku ingin tahu.
“Balasan pesan, apa lagi coba? Aku sudah mengirimkan pesan padanya di BBM
dan sampai sekarang dia tidak membalasnya….”
“Kenapa begitu?”
“mana tahu! Dia bilang tidak sempat membalas, tapi dia sempat ganti DP,
ganti status dan sempat pula membalas chat temannya. Sementara chat, ku di
anggurin, jangankan di balas, di baca saja tidak! Mungkin dia sudah enggan
berteman denganku!’
“pikirmu begitu?” tanya suamiku sangsi.
“ya. Apalagi coba?”
“apakah kau sudah coba menyapanya lagi?” tanyanya.
“untuk apa? Ada gunanya kah? Orang kalau tidak mau membalas, ya sudah.
Aku sudah berusaha. Iya kalau pesanku nanti di balasnya. Kalau di perlakukan
serupa, aku tak akan sanggup menahan sakit hati dan kecewa. Jadi.. biarkan
saja!”
“Biar kesepian? Senyap sendirian? Yakin bisa tahan?” godanya..
“Hurmmmmm…..”