-->

Hai !!! Selamat membaca..! Semoga menginspirasi...

Cinta yang Terbagi bag 7


Jodha sudah duduk manis dalam pesawat Sriwijaya Air yang akan membawanya ke Jakarta. Para penumpang masih berdatangan dan sibuk mencocokkan no bangku di pesawat dengan yang tertera di tiket. Jodha mengambil tempat duduk di sebelah dalam, sementara tempat duduk di sebelah luar masih kosong.

Tiba-tiba seorang pemuda berdiri di samping nya. Wajahnya menyiratkan rasa kaget yang sumringah. Sambil tersenyum gembira dia berkata, “beruntungnya aku…” kata pemuda itu sambil meletakkan tas nya di bagasi penumpang. Jodha menoleh kearah pemuda dan ikut tersenyum melihat wajah cerianya.
Selesai menutup pintu bagasi, si pemuda menghenyakkan pantatnya di kursi. Mengetahui kalau Jodha mengamatinya, si pemuda menyapa, “hai…”

Jodha bertanya dengan rasa ingin tahu, “apa yang beruntung??”

“Bisa duduk di samping perempuan cantik, apa tidak beruntung namanya?” ucap pemuda itu dengan nada ceria. Jodha tersenyum mendengarnya. Lalu pemuda itu mengulurkan tangannya, “oh ya, kenalkan…  namaku Mirza Hakim…”

Jodha hendak menyambut uluran tangan pemuda itu ketika terdengar suara teguran, “Mirza?” Mirza menoleh kearah suara yang menegurnya. Jodha ikut menoleh. Dia kaget melihat Jalal, begitu pula Jalal. Jalal menyapa Jodha dengan rasa ingin tahu, “hai, apa yang …. Maksudku… tidak disangkah bisa bertemu denganmu di sini…”

Mirza menatap Jodha dan jalal bergantian, “abang mengenalnya?”

Jalal tidak menjawab, dia menyuruh Mirza bangkit dan menunjuk kursi di seberangnya, “bangku mu yang itu…”

Mirza hendak protes, tapi Jalal keburu menarik lengannya, memaksa Mirza berdiri meski dengan enggan. Begitu Mirza beranjak, Jalal ganti menduduki kursi di sebelah Jodha.

“Kau hendak kemana?” tanya Jalal pada Jodha

Jodha memeriksa tiketnya, “terakhir ku lihat, pesawat ini akan terbang ke Jakarta…”

Jalal tertawa renyah, “ya. Tentu saja ke Jakarta. Tapi Jakarta kan lebar. Ada keperluan khusus ke Jakarta atau sekedar jalan-jalan?”

“Sekedar jalan-jalan. Bosan tinggal di perkebunan yang sepi terus-menerus. Sesekali ingin menikmati hiruk pikuknya ibu kota…” jawab Jodha dengan diplomatis.

Jalal tersenyum, “kau bertemu dengan orang yang tepat. Aku bisa mengantarmu keliling Jakarta kalau kau mau….”


“Tidak. Terima kasih. Aku bisa sendiri…”

“Kenapa? Mana boleh seorang wanita jalan-jalan sendirian di ibukota. Apalagi wanita secantik dirimu…”

“Terima kasih. Tapi ini bukan pertama kalinya diriku ke ibukota. Jadi….”

“Mungkin bukan pertama kalinya, tapi ini pertama kalinya kau ke Jakarta bersamaku. Aku tidak akan membiarkan dirimu melanglang sendirian. Aku akan mengantarmu kemanapun kau mau. Okaay..”

Jodha hendak menolak, tapi terdengar pengumuman bahwa pesawat akan segera tingggal landas dan meminta para penumpang mengencangkan ikat pinggang. Jodha segera memeriksa ikat pinggangnya, lalu menyandar di sandaran kursi dengan wajah tegang. Bagi Jodha, moment-moment menegangkan saat naik pesawat adalah saat take of dan landing.  Karena meski berkali-kali naik pesawat, dia masih belum bisa menyiasati bagaimana agar telinganya tetap bisa berfungsi dengan normal selama proses itu.

Jalal melihat ketegangan di wajah Jodha. Begitu pesawat mengambil posisi dan siap berpacu di landasan, Jalal menggenggam jemari Jodha yang memegangi sandara kursi dengan kuat. Jodha ingin menepis tangan itu, tapi rasa nyaman yang dia rasakan membuat Jodha mengulurkan niatnya.

Jalal terus menggengam tangan Jodha dengan erat. Matanya menatap wajah Jodha yang tegang dan terpejam. Tiba-tiba ada hasrat ingin melindungi dalam diri Jalal pada Jodha. Jalal bertekad akan mendampingin Jodha selama di jakarta.

Begitu lampu emergency mati dan lampu pesawat menyala, Jodha menarik tangannya dari genggaman Jalal. Jalal melepas genggamannya. Dia sudah tahu kalau lampu menyala berarti kondisi pesawat sudah stabil. Tidak ada alasan bagi Jodha untuk tegang dan bagi Jalal untuk pura-pura jadi pahlawan kesiangan.

“Wah… sungguh menengangkan ya…? Apakah ini pertama kalinya kau naik pesawat?” tanya Jalal sambil mengerling nakal.

Jodha yang paham kearah mana pertanyaan itu menimpali, “tidak. Tapi ini pertama kalinya aku naik pesawat bersamamu. Terima kasih…”

“Semoga bukan yang terakhir…..” guman Jalal lirih. Jodha tidak mendengar gumanan jalal.

Selama perjalanan, Jalal terus berusaha mengajak Jodha berbincang-bincang. Jodha menangapi setiap pertanyaan yang di ajukan jalal dengan baik. Dalam hati Jodah merasa heran, bagaimana Jalal yang sepintas terlihat pendiam saat di bertemu di fazenda, menjadi sangat talkactiv begitu.

“Tahukah kau Nona, kalau nenek moyang kita berasal dari angkasa luar ?” tanya Jalal

Jodha mengangguk, “ya. Aku pernah membaca teori itu dalam buku katya Eric Von Daniken…”

“Apakah menurutmu itu hanya teori?”

Jodha balik bertanya, “menurutmu?”

“Bisa jadi itu memang kenyataannya. Sejak lama nenek moyang berbagai bangsa di dunia menjadikan bintang-bintang sebagai patokan. Bahkan ada sebagian dari mereka menyembah bintang. Bahkan bangsa mesir kuno menjadikan bintang sirius sebagai patokan kalendernya. Mereka tahu kapan sungai nil akan pasang dan kapan akan surut dengan melihat posisi bintang sirius. Aneh bukan? Padahal jarak sirius begitu jauh di ujung angkasa. Apakah nenek moyang bangsa mesir berasal dari sana?”

Jodha menatap Jalal dengan tatapan heran. Di tatap begtu Jalal mengangkat alisnya sambil bertanya, “apa?”

Jodha menggeleng, “tidak ada…”

“Pasti ada. Ayo katakan? Jangan sungkan…”

“Nyonya Hamida berkata kalau dirimu adalah pakar per-okra an, dan meminta mu mendampingi kami dalam budidaya okra nanti. Kau mengaku supir pribadi di hadapanku, dan kini kau bicara tentang angkasa luar seolah-olah …..”

“Membingungkan bukan?” Jalal menyerigai lembut melihat keraguan di wajah Jodha.

“Tidak binggung. Hanya ingin tahu, apa profesi Anda sebenarnya?”

“Ah… kau ber- Anda Anda denganku. Aku lebih suka ber-aku kamu seperti tadi…”

Tiba-tiba terdengar suara Mirza, “bang Jalal, aku ke toilet dulu…”

Jalal tergelak sambil mengangguk. Mirza pun berlalu. Jodha menatap Jalal dengan tatapan menyelidik, “Jalal? Bukannya Udin?”

Jalal mengendikkan bahu, “Jalalluddin…”

“Oh….”

NEXT

Popular Posts