Jodha sudah duduk manis dalam
pesawat Sriwijaya Air yang akan membawanya ke Jakarta. Para penumpang masih
berdatangan dan sibuk mencocokkan no bangku di pesawat dengan yang tertera di
tiket. Jodha mengambil tempat duduk di sebelah dalam, sementara tempat duduk di
sebelah luar masih kosong.
Tiba-tiba seorang pemuda berdiri
di samping nya. Wajahnya menyiratkan rasa kaget yang sumringah. Sambil tersenyum
gembira dia berkata, “beruntungnya aku…” kata pemuda itu sambil meletakkan tas
nya di bagasi penumpang. Jodha menoleh kearah pemuda dan ikut tersenyum melihat
wajah cerianya.
Selesai menutup pintu bagasi, si
pemuda menghenyakkan pantatnya di kursi. Mengetahui kalau Jodha mengamatinya,
si pemuda menyapa, “hai…”
Jodha bertanya dengan rasa ingin
tahu, “apa yang beruntung??”
“Bisa duduk di samping perempuan
cantik, apa tidak beruntung namanya?” ucap pemuda itu dengan nada ceria. Jodha
tersenyum mendengarnya. Lalu pemuda itu mengulurkan tangannya, “oh ya,
kenalkan… namaku Mirza Hakim…”
Jodha hendak menyambut uluran
tangan pemuda itu ketika terdengar suara teguran, “Mirza?” Mirza menoleh kearah
suara yang menegurnya. Jodha ikut menoleh. Dia kaget melihat Jalal, begitu pula
Jalal. Jalal menyapa Jodha dengan rasa ingin tahu, “hai, apa yang …. Maksudku…
tidak disangkah bisa bertemu denganmu di sini…”
Mirza menatap Jodha dan jalal
bergantian, “abang mengenalnya?”
Jalal tidak menjawab, dia
menyuruh Mirza bangkit dan menunjuk kursi di seberangnya, “bangku mu yang itu…”
Mirza hendak protes, tapi Jalal
keburu menarik lengannya, memaksa Mirza berdiri meski dengan enggan. Begitu
Mirza beranjak, Jalal ganti menduduki kursi di sebelah Jodha.
“Kau hendak kemana?” tanya Jalal
pada Jodha
Jodha memeriksa tiketnya,
“terakhir ku lihat, pesawat ini akan terbang ke Jakarta…”
Jalal tertawa renyah, “ya. Tentu saja
ke Jakarta. Tapi Jakarta kan lebar. Ada keperluan khusus ke Jakarta atau
sekedar jalan-jalan?”
“Sekedar jalan-jalan. Bosan
tinggal di perkebunan yang sepi terus-menerus. Sesekali ingin menikmati hiruk
pikuknya ibu kota…” jawab Jodha dengan diplomatis.
Jalal tersenyum, “kau bertemu
dengan orang yang tepat. Aku bisa mengantarmu keliling Jakarta kalau kau mau….”
“Tidak. Terima kasih. Aku bisa
sendiri…”
“Kenapa? Mana boleh seorang
wanita jalan-jalan sendirian di ibukota. Apalagi wanita secantik dirimu…”
“Terima kasih. Tapi ini bukan
pertama kalinya diriku ke ibukota. Jadi….”
“Mungkin bukan pertama kalinya,
tapi ini pertama kalinya kau ke Jakarta bersamaku. Aku tidak akan membiarkan
dirimu melanglang sendirian. Aku akan mengantarmu kemanapun kau mau. Okaay..”
Jodha hendak menolak, tapi
terdengar pengumuman bahwa pesawat akan segera tingggal landas dan meminta para
penumpang mengencangkan ikat pinggang. Jodha segera memeriksa ikat pinggangnya,
lalu menyandar di sandaran kursi dengan wajah tegang. Bagi Jodha, moment-moment
menegangkan saat naik pesawat adalah saat take of dan landing. Karena meski berkali-kali naik pesawat, dia
masih belum bisa menyiasati bagaimana agar telinganya tetap bisa berfungsi
dengan normal selama proses itu.
Jalal melihat ketegangan di wajah
Jodha. Begitu pesawat mengambil posisi dan siap berpacu di landasan, Jalal
menggenggam jemari Jodha yang memegangi sandara kursi dengan kuat. Jodha ingin
menepis tangan itu, tapi rasa nyaman yang dia rasakan membuat Jodha mengulurkan
niatnya.
Jalal terus menggengam tangan
Jodha dengan erat. Matanya menatap wajah Jodha yang tegang dan terpejam.
Tiba-tiba ada hasrat ingin melindungi dalam diri Jalal pada Jodha. Jalal
bertekad akan mendampingin Jodha selama di jakarta.
Begitu lampu emergency mati dan
lampu pesawat menyala, Jodha menarik tangannya dari genggaman Jalal. Jalal
melepas genggamannya. Dia sudah tahu kalau lampu menyala berarti kondisi
pesawat sudah stabil. Tidak ada alasan bagi Jodha untuk tegang dan bagi Jalal
untuk pura-pura jadi pahlawan kesiangan.
“Wah… sungguh menengangkan ya…? Apakah
ini pertama kalinya kau naik pesawat?” tanya Jalal sambil mengerling nakal.
Jodha yang paham kearah mana
pertanyaan itu menimpali, “tidak. Tapi ini pertama kalinya aku naik pesawat
bersamamu. Terima kasih…”
“Semoga bukan yang terakhir…..”
guman Jalal lirih. Jodha tidak mendengar gumanan jalal.
Selama perjalanan, Jalal terus
berusaha mengajak Jodha berbincang-bincang. Jodha menangapi setiap pertanyaan
yang di ajukan jalal dengan baik. Dalam hati Jodah merasa heran, bagaimana
Jalal yang sepintas terlihat pendiam saat di bertemu di fazenda, menjadi sangat
talkactiv begitu.
“Tahukah kau Nona, kalau nenek
moyang kita berasal dari angkasa luar ?” tanya Jalal
Jodha mengangguk, “ya. Aku pernah
membaca teori itu dalam buku katya Eric Von Daniken…”
“Apakah menurutmu itu hanya
teori?”
Jodha balik bertanya, “menurutmu?”
“Bisa jadi itu memang
kenyataannya. Sejak lama nenek moyang berbagai bangsa di dunia menjadikan
bintang-bintang sebagai patokan. Bahkan ada sebagian dari mereka menyembah
bintang. Bahkan bangsa mesir kuno menjadikan bintang sirius sebagai patokan
kalendernya. Mereka tahu kapan sungai nil akan pasang dan kapan akan surut
dengan melihat posisi bintang sirius. Aneh bukan? Padahal jarak sirius begitu
jauh di ujung angkasa. Apakah nenek moyang bangsa mesir berasal dari sana?”
Jodha menatap Jalal dengan
tatapan heran. Di tatap begtu Jalal mengangkat alisnya sambil bertanya, “apa?”
Jodha menggeleng, “tidak ada…”
“Pasti ada. Ayo katakan? Jangan sungkan…”
“Nyonya Hamida berkata kalau
dirimu adalah pakar per-okra an, dan meminta mu mendampingi kami dalam budidaya
okra nanti. Kau mengaku supir pribadi di hadapanku, dan kini kau bicara tentang
angkasa luar seolah-olah …..”
“Membingungkan bukan?” Jalal
menyerigai lembut melihat keraguan di wajah Jodha.
“Tidak binggung. Hanya ingin
tahu, apa profesi Anda sebenarnya?”
“Ah… kau ber- Anda Anda denganku.
Aku lebih suka ber-aku kamu seperti tadi…”
Tiba-tiba terdengar suara Mirza, “bang
Jalal, aku ke toilet dulu…”
Jalal tergelak sambil mengangguk.
Mirza pun berlalu. Jodha menatap Jalal dengan tatapan menyelidik, “Jalal? Bukannya
Udin?”
Jalal mengendikkan bahu, “Jalalluddin…”
“Oh….”
NEXT