Di akhir ‘oh’ nya Jodha terdengar
pengumuman kalau pesawat telah tiba di tujuan dan akan bersiap-siap untuk
landing, semua penumpang di minta untuk kembali ke posisinya masing-masing dan
memasang ikat pinggangnya. Mirza Hakim berjalan cepat ke bangkunya dan segera
memasang sabuk pengaman.
Jodha mengencangkan ikat
pinggangnya. Wajahnya kembali terlihat tegang. Jalal mengamati perubahan raut
wajah Jodha dan menunggu kesempatan untuk menyentuh tangan Jodha lagi. Tapi
sayang, Jodha tidak meletakkan tangannya di lengan kursi. Dia menyandar dengan
mata terpejam dan tangan bersendekap di dada. Jalal terlihat kecewa, tapi tidak
bisa berbuat apa-apa.
Dan pesawatpun landing denga
mulus. Setelah pesawat berhenti sempurna, penumpang di persilahkan meninggalkan
pesawat. Mirza dan Jalal bangkit mengambil tas nya di lemari bagasi lalu ikut berdiri antri di belakang penumpang
lain. Sementara Jodha masih duduk santai di kursinya. Dia menghidupkan hpnya.
Bunyi pesan masuk berondongan seperti bunyi petasa imlek. Jalal menoleh kearah
Jodha dengan penuh harap. Sayang Jodha terlalu fokus membaca pesan.
Setelah tidak ada lagi penumpang
yang lalu di sampingnya, Jodha segera berdiri dan berjalan keluar. Pramugari
tersenyum padanya dan mengucapkan terima kasih. Jodha membalas salam pramugari
dengan senyum dan anggukan kepala.
Setelah berhasil mengklaim
bagasinya, Jodha segera keluar untuk pergi ke shelter bus Damri jurusan Bogor
saambil menarik koper munggilnya. Tiba-tiba sebuah mobil pribadi mendekat perlahan. Begitu kaca jendela di turunkan,
terlihatlah wajah tampan Jalal..
“Jodha… naiklah! Kami akan
mengantarmu..” pinta Jalal.
Jodha menoleh dengan takjub.
Mirza Hakim melambaikan tangan. Jodha mendekat dan menolak dengan halus, “tidak.
Terima kasih. Perjalananku jauh, keluar Jakarta…”
Jalal keluar dari mobil, “tidak
apa. Kemanapun tujuanmu, kami akan mengantarmu..”
“Aku mau ke Bogor, ada Damri di
situ…” tolak Jodha.
“Kami juga mau ke Bogor. Marilah…”
tanpa menunggu, Jalal merebut koper Jodha dan membawanya ke mobil. Mau tidak
mau, Jodha terpaksa ikut. Jalal memasukan koper Jodha ke bagasi. Dia lalu
membuka pintu penumpang depan dan mempersilahkan Jodha duduk. Jodha menolak,
dia ingin duduk di kursi penumpang. Jalal memaksa, “wanita harus di utamakan…”
Jodha pun menurut. Mirza menyapa
Jodha dengan gembira. Seperinya gembira karena akhirnya bisa duduk di dekat
perempuan cantik. Tapi sayang, kegembiraan Mirza Hakim terganggu saat Jalal
membuka pintu kemudi. Mirza menatap Jalal dengan heran.
Jalal menyuruh Mirza turun, “kau
istirahatlah di belakang, biar aku yang nyetir…”
Mirza keberatan, “aku saja bang,
aku lebih hapal jalan ke Bogor..”
Jalal melotot galak. Dengan
kesal, Mirza terpaksa turun. Jalal menggantikan posisi Mirza. Mirza duduk di
kursi penumpang sambil berguman lirih. Jalal pura-pura bertanya, “apa kau
bilang?” Mirza menggeleng, “tidak apa-apa. Cepatlah maju, nanti kena tilang kita…”
Jalal segera memacu mobilnya keluar
bandara menuju jalan Tol Jagorawi. Biasanya di hari jam macet seperti ini,
Bogor – Jakarta akan memakan waktu kurang lebih 2 jam meski lewat tol. Jodha
tidak banyak bicara, dia menyerahkan semuanya pada Jalal yang terlihat fokus
menyentir dan sesekali bertanya pada Mirza arah yang harus diambil.
Mirza menjawab dengan enggan
sambil mendumel, “.. sudah kubilang, aku lebih hapal jalan itu. Tidak percaya…”
“Bukan tidak percaya, tapi sekali-kali
pingin juga aku nyetir…” ucap Jalal membela diri.
Jodha hanya tersenyum mendengar
keributan kecil itu. Jalal melirik kearah Jodha dan bertanya, “oh ya, Bogor nya
kemana?”
“Botani Square…”
“Mau shopping? Jauhnya…” celetuk
Mirza.
Jodha tertawa, “ada seminar besok…”
“Seminar apa ya?”
“Apoteker…”
Jalal menyela, “kau menginap di mana?”
“Di hotel…”
“Sudah pesan?”
“Sudah…”
“Dimana?”
“Santika. Jadi nggak perlu
kemana-mana lagi. Seputaran situ saja..”
“Simple..” sahut Mirza.
Jodha mengangguk, “ya begitulah.
Dari Soeta naik Damri. Itu saja….”
“Tidak masalah. Kebetulan kami
juga ke jurusan yang sama…” ucap Jalal. Di belakang, Mirza mencibir geli. Jalal
melihat itu dari balik spion dan melotot geli juga.
“Oh ya, sebenarnya kalian mau
kemana?” tanya Jodha ingin tahu.
Jalal dan Mirza menjawab
berbarengan. Jalal menyebut Bogor, Mirza menyebut Bandung.
Jodha tersenyum geli, “Bogor atau
Bandung?”
Mirza hendak menyahut, tapi Jalal
menyela lebih cepat, “ke Bogor dulu… lalu ke Bandung. Mirza selalu
mengingat-ingat Bandung, karena punya gebetan di sana..”
“Tidak. Mana ada gebetan?”
“Mojang priangan itu?”
“Tidak ada. Jangan percaya Jo…”
Jalal melotot, “Jo?”
“Jodha?!” ralat Mirza. Lalu tanya
Mirza pada Jodha, “bolehkah aku memanggilmu Jo?”
Jodha mengangguk. Jalal protes, “kau
harus memanggilnya kak Jodha!”
“Kenapa?”
“Tidakkan kau tahu kalau dia
lebih tua darimu?”
“Bagaimana abang tahu? Sepertinya
kami sebaya… bukankah begitu Jo?”
Jodha mengangguk. Jalal memaksa, “pokoknya
kau harus memanggil Jodha dengan sebutan kakak…”
“Kenapa?”
“Pokoknya harus!!”
“Diktator!”
“Kakak!”
“Iya kakak, Diktator…” ejek
Mirza. Jalal tak membalas.
Jodha tertawa geli, “apa kalian
selalu seperti ini?”
Mirza menyahut, “tidak selalu.
Hanya jika sedang berebut perhatian wanita cantik saja…”
Jodha tertawa renyah, “ohhh…. “
Lalu ketiganya terlibat
percakapan yang mengasikkan. Banyak hal mereka bahas, mulai dari kemacetan
ibukota, politik hingga nilai rupiah yang terlindas dollar. Hingga tanpa terasa
mereka tiba di halaman Botani Square.
Setelah mobil terparkir rapi,
Jodha turun. Mirza mengambilkan koper Jodha dari bagasi belakang.
Jalal
menghampiri Jodha, “kapan kau pulang..”
Jodha berpikir sebentar, “kalau
tidak besok ya lusa…”
“Tunggulah. Kami akan
menjemputmu. Kita bisa pulang bersama-sama..” pinta Jalal.
“Bukankah kalian harus ke
Bandung?”
“Yup. Bisa di atur…”
Jodha menerima kopernya dari
Mirza dan mengucapkan terima kasih pada kakak beradik itu, “terima kasih atas tumpangannya.
Sampai jumpa…”
“Kami bisa mengantarmu check ini…”
tawar Mirza.
Jodha menggeleng, “tidak perlu.
Terima kasih. Sudah ada reservasinya..”
“Baiklah. Selamat tinggal..” ucap
Mirza. Jodha melambaikan tangan sebelum melangkah pergi. Jalal menatap
kepergian Jodha dengan tatapan berat. Seolah-olah dia akan kehilangan
permatanya yang paling berharga.
Mirza melihat itu dan menepuk
bahu Jalal, “ingat kak Ruq di rumah…”
Jalal tersadar. Dia tersenyum
masam. Lalu kedua kakak beradik itu masuk kemabli ke mobil. Kali ini,
Mirza
masuk ke kursi penumpang. Tapi jalal mengusirnya, “enak saja! Kau yang nyetir,
aku lelah…”
Mirza menggomel panjang pendek.
Jalal tak mengubrisnya. Dia duduk di kursi penumpang dengan pandangan mengarah
ke pintu masuk Botani Square di mana Jodha menghilang. Dia membayangkan Jodha
muncul dan menghampiri mereka. Tapi itu tidak terjadi. Lalu Mirza menghidupkan
mesin dan mobil yang mereka kendarai berjalan pelan menuju portal parkir.