Ibu….dalam kebencianku ada dendam yang membara. yang membakar dadaku, menghentakkan jantungku hingga melontarkan aku keangkasa raya. Ingin kucapai api matahari untuk membakar si pendosa. Agar tubuh kotornya dan definisi cintanya musnah menjadi debu yang berterbangan di terpa angin.
Oh ibu, tapi bagaimana jika debu kotor sipendosa terhisap olehku, terbawa keparu-paru dan menyumbat aliran pernafasanku? Aku akan hancur, hancur secara perlahan dan menyedihkan. Lalu apa artinya ku hukum si pendosa jika aku harus menderita bersamanya? Tidak ibu…tidak! Aku tidak ingin menderita bersamanya…
Aku ingin bersamamu..menikmati kerinduan ini…
Ibu, ada dendam berkarat dihatiku yang serpihannya mengores hatiku, menorehkan sayatan-sayatan tipis yang pedih. Sudah kucoba membuang karat itu dan membersihkan hatiku. Segala usaha kucoba…bahkan aku merendamnya dalam larutan asam glasial, tapi karat itu tetap menempel tak mau lepas hingga hatiku melepuh menahan sakit.
Oh ibu, aku letih…lelah! Ingin kuhancurkan saja hatiku agar dendam berkarat ini lenyap bersamanya. Tapi aku tidak bisa. Aku tak bisa hidup tanpa hati. Aku tidak ingin menjadi manusia yang tidak punya perasaan.
Dalam hatiku ada rindu yang mendalam padamu. Pada masa-masa kecilku, saat engkau masih di sisiku. Kenangan abadi tentangmu terpatri dalam lubuk hatiku. Bagaimana aku dapat menghancurkannya? Menghancurkan hatiku sama saja dengan menghapus kenangan dirimu. Menghancurkan harapan-harapan yang kupupuk dan kurangkai di malam-malam senyap saat engkau menemaniku dalam mimpi, menghancurkan kerinduan yang membuatmu selalu ada di dekatku.
Oh ibu…aku tidak bisa hidup tanpa rindu ini. Rindu yang membuatku merasa engkau hadir disisiku, menemaniku dan menjagaku…selalu