“Sella, aku menyukaimu! Maukah kau menikah denganku?” tanyanya suatu senja di bawah kamboja merah yang menaungi halaman samping rumah. Aku mengangkat wajah dan menatapnya tak percaya. “Apakah aku tidak salah dengar?”
Aldi menggeleng, “Aku bersungguh-sungguh. Sejak pertama mengenalmu, aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu dalam apapun juga. Dalam suka, dalam duka, akan selalu menjaga dan melindungimu.”
“Dalam apapun juga?” tanyaku penuh selidik.
“Dalam apapun juga!” tegasnya tanpa ragu. “Bahkan jiwa ragaku akan ku korbankan untukmu..”
“A’ah…” sahutku cepat memotong kata-katanya. “Manusia tidak berharga jika tidak bernyawa…”
“Maksudmu, Sella?”
“Jika kau ingin menghabiskan sisa hidupmu denganku, maka kau harus menjaga jiwa dan ragamu dan tidak pernah mengorbankannya untuk siapapun, termasuk untuk ku!”
Aldi ternganga tak percaya, “Apakah itu artinya kau ‘menerima’ ku?”
Aku menggeleng, “Aku tidak mengatakan bahwa aku menerimamu.” Lalu aku menyerahkan buku filsafat eksistensialisme yang sedang kubaca padanya, “Kalau ada waktu luang, bacalah buku ini. Jika kita bertemu lagi, aku ingin membahas isi buku ini denganmu.”
“Wah, tebal sekali,” komentarnya. “Lalu tentang permohonanku tadi?'”
“Aku akan menjawabnya setelah kita membahas isi buku ini,” jawabku sekenanya.
Aldi tersenyum penuh pengertian, “Baiklah… aku akan membacanya dan berjanji tidak akan mengecewakanmu.”
“Jangan mudah mengobral janji…” kataku mengingatkan, “tidak baik!”
Aldi tersenyum, “aku tidak akan berjanji kalau tidak bisa menepati.”
Sejak hari itu, aku tidak pernah lagi melihat wajah Aldi. Sehari dua hari, seminggu, sebulan. Lalu aku mengambil keputusan bahwa dia tidak seserius seperti yang dikesankan. Dia hanya mencobaiku. Seorang wanita yang gagal menikah tanpa alasan yang jelas, mana mungkin lelaki seperti Aldi berminat. Padahal jujur saja, sejak dia memintaku untuk menikahinya hari itu, aku sudah memikirkan segala kemungkinannya, bahkan kemungkinan yang paling buruk sekalipun sudah kupikirkan. Aku tidak mencintainya. Dan terlalu dini untuk mengatakan bahwa Aldi mencintaiku. Selama ini kami hanya sesekali bertemu, berbasa basi sedikit dan saling menatap dari jauh. Bukan aku, tapi Aldi. Menurut Bayuangga, Aldi seringkali mencuri-curi pandang kearahku dan menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Bayuangga merasa Aldi menyukaiku dan dia sama sekali tidak keberatan jika aku berkencan dengannya.
“Ayolah Sell, tidak ada salahnya mencoba. Sama sekali tidak rugi lho. Siapa tahu kalian berjodoh,” bujuk abangku. Aku hanya menyahutinya dengan senyuman. Mencoba katanya? Setelah apa yang terjadi, apakah aku punya keberanian untuk mencoba? Aku tidak lagi percaya pada suatu hubungan. Selain hubungan persaudaraan, tidak ada jaminan yang bisa membuat ‘hubungan’ selain itu bisa berjaya. Contohnya ‘hubungan’ yang kubina bersama Rio. 10 tahun membangunnya, menjaga dan membuatnya berkembang.. namun pada akhirnya kandas di tengah jalan.
“Dimana adik ku yang selalu optimis dulu?” tanyanya lagi, melihatkutak mengubris sarannya.
“Masih di sini. Namun sekarang optimisnya sudah berganti menjadi optimis yang realitis. Tidak lagi naif..” ucapku dengan nada kelu.
“Syukurlah! Itu baik untuk kita semua,” ucapnya sambil tersenyum. “Pada kenyataannya banyak orang yang menikah tanpa cinta dan hidup rukun selamanya. Sedang banyak yang menikah dengan cinta, tapi tidak tahan untuk hidup bersama. Cinta itu membosankan. Setelah didapatkan, akan lebih mudah mencampakannya dari pada mempertahankannya.”
“Betulkah? filosofi darimana?” godaku.
“Itu kenyataan dari filosofi kehidupan. Jangan kira, dengan bermodalkan cinta sebuah pernikahan bisa bertahan selamanya. Bagi seseorang, terkadang lebih baik di cintai daripada mencintai. Seseorang seperti dirimu. Pikirkan lagi ya..” pinta Bayuangga dengan serius. Aku hanya mengangguk mengiyakan.
Apa yang dikatakan abangku, ada benarnya. Di cintai lebih baik dari pada mencintai. Meski yang lebih baik lagi adalah saling mencintai. Lebih baik memberi daripada meminta. Kita tidak bisa mengontrol hati orang lain, tapi menjaga hati sendiri lebih mudah. Lalu ketika sebulan lewat 10 hari sejak senja itu, Aldi datang ke Fazenda untuk memenuhi janji yang telah di buatnya, dan kamipun membahas segalanya. Bukan tentang isi buku Eksistensialisme yang bacanya, tapi tentang aku dan Aldi. Tentang kami. Tentang perasaan, harapan dan masa depan yang dia tawarkan padaku dan tentang apa yang bisa kuberikan sebagai balasannya.
“Aku akan menunggu sampai kau rela menyerahkan dirimu padaku.” ucapnya tanpa ragu.
“Kalau tidak pernah rela?” tanyanku memojokannya.
Aldi terdiam sejenak, lalu dengan nada penuh sesal, “Maka kau harus mengizinkan aku menikah lagi.”
“Hah? apa?”
“Ayolah Sella, aku bukan lelaki yang tidak punya hasrat pada wanita. Aku ini lelaki normal. Jika sebagai istri kau tidak bisa memenuhi kewajibanmu, maka….”
“Maka?” tanyaku dengan nada penasaran.
“Maka kau harus rela di duakan,” ucapnya dengan ragu.
“oh Aldi, kau ini sedang melamarku, tapi kau malah bicara tentang mengambil istri kedua. Bagaimana ini?”
“Aku…..” Aldi tergagap tak tahu harus menjawab apa. Mungkin dia baru sadar kalau terlepas bicara.
“Jika kau bersungguh-sungguh ingin menikah denganku, ajaklah orang tuamu untuk menemui keluargaku Aku ingin kita menikah secara sederhana di KUA,” ucapku kemudian yang disambut dengan senyum lega dan rona bahagia di mata Aldi.
Keinginan untuk menikah secara sederhana di KUA tidak terlaksana. Aldi adalah putra tunggal orang tuanya. Tentu saja mereka tidak terima jika pernikahan putra semata wayangnya hanya berlangsung di KUA tanpa pesta pora. Begitu pula halnya dengan keluargaku. Aku hanya mengiyakan saja apa keinginan mereka tanpa perlu berbuat apa-apa. Dan pesta pernikahanku dengan Aldi berjalan sesuai dengan rencana. Lancar dan tanpa kendala. Ada rasa sedih menyelimuti hatiku. Namun aku bisa mengontrolnya dengan segala upaya. Hanya saja, ketika mama Rio memelukku dengan sedih, aku tak bisa menahan airmata. Apapun yang ingin ku hapus, aku belum bisa menghapus Rio dari hatiku.
“Aku akan menunggu….” bisik Aldi ditelingaku. Aku mengangkat wajah menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Aldi mengenggam jemariku dan mengangguk pasti, “aku akan menunggumu. Dan akan melakukan yang terbaik untuk kita. Ok!” Itulah janji Aldi. Janji yang selalu dipegangnya hingga kini. Aldi selalu setia menunggu hingga aku merelakan diriku untuknya. Meski itu artinya hidup dalam kesepian dan tanpa kehangatan. Aldi membuktikan bahwa dia sanggup menahan diri dan tidak mencari istri lagi. Setelah 2 tahun menunggu akhirnya aku menyerahkan diri padanya, dan memberinya bonus 3 cindra mata, dua orang superhero dan seorang bidadari. Yang ketiganya kini sedang berteriak-teriak sambil bermain bola air di kolam renang bersama dua anak abang ku. Aku tersenyum melihat ulah mereka.
“Ehm…” sebuah deheman kecil mengejutkan ku. Aku menoleh ke samping kiri. Suamiku sedang menatapku dengan tangan bersendekap di dada. “Sudah selesai melamunnya?”
“Ah… sejak kapan abang ada disini?” tanyaku kaget.
“Sejak 45 menit yang lalu! Apa yang kau lamunkan? Pastinya kau tidak sedang melamunkan aku kan?” tuduhnya membuatku tersipu.
“Aku sedang melamunkan mereka,” sahutku sedikit menipu.
“Oh ya?” tanyanya tak percaya.
“He eh” sahutku sambil mengangguk memastikan. Lalu aku mengalihkan perhatiannya dengan melihat jam tangan, ternyata memang cukup lama aku melamun. Sekarang sudah pukul 14. 25 WIB , “Abang sudah makan?”
“Belum. Aduuuuh.. perutku lapar sekali. Bisa tidak ambilkan aku sedikit makanan?” pintanya manja. Aku mengangguk. Tapi belum lagi aku berdiri, kakak iparku sudah datang dengan nampan berisi makanan.
“Nih, Al..cobain masakannya. Enak apa nggak….kak Ira sendiri yang masak lho..!” ucap kakak iparku sambil menyodorkan nampan yang dibawahnya kedepan Aldi. Aldi tanpa menuggu lagi segera menyendok nasi kepiring dan mencampurnya dengan sayur asem, sambal goreng ikan bilis lalu menyuapkan kemulutnya.
“Hemmm… lezat sekali. Kalau tidak ada kak Ira, aku pasti kelaparan….” ucap Aldi memuji kak Ira. Yang membuat kakak iparku itu tertawa bahagia. Aku menatap suamiku dengan kening berkerut.
“Kelaparan? dasar penjilat!” bisik ku sambil mencibir.
“Sella, nggak ikut nyicip?” tanya kak Ira
“Nggak dech kak. Nanti… ada orang yang mati kelaparan, kalau sampai jatahnya berkurang,” sindirku yang disambut cubitan kecil di punggung. Aku menjerit kesakitan. Aldi tertawa kesenangan.
“Oh ya, Sell, sudah tahu belum?” tanya kak Ira. “Rio ada di sini. Aku melihatnya tadi pagi.”
Deg! Aku menatapnya jenggah, “oh ya?”
“He eh. Kurus sekali dia. Rambutnya gondrong, matanya kuyu…. kayak orang habis sakit,” jelas kak Ira. Aku melirik kearah Aldi yang asyik menikmati makanannya seolah tidak mendengar pembicaraan kami. Kak Ira yang melihat reaksiku segera menutp mulutnya sambil menatapku dengan tatapan minta maaf. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.
“Oh iya… kakak masih harus memasak dendeng ikan pesanan abangmu,” pamitnya sebelum beranjak pergi. Akupun turut berdiri dari duduk dan berjalan menghampiri anak-anak yang bermain di kolam.