Jangan Pernah Akhiri. Sejak perpisahan hari itu, aku tidak lagi mempunyai keberanian untuk menatap kehidupan. Semua jalan bagaikan telah tertutup. Aku terkurung didalam nestapa yang merejam hati dan sanubariku. Mengeringkan semangat hidup dan melemparku kedalam jurang kehancuran.
Anehnya, aku masih hidup, sehat wal a’ffiat. Tanpa kurang suatu apa. Terkadang aku berharap seorang ksatria dari masalalu hadir di depanku di atas seekor kuda putih dengan sebilah tombak di tangan yang siap untuk di lempar menembusi dadaku yang penuh sesak oleh kedukaan. Hingga sang maut datang meraih ku dengan tangan-tangan kekarnya dan membawaku langsung ke dalam neraka jahanam di mana para pendosa tinggal dan di siksa.
Lara yang mengisi hari-hari ku adalah nestapa abadi sepanjang zaman. Penyesalan yang menghiasinya laksanan bara api yang membakar akal dan perasaanku hingga keinginan untuk hidup lenyap. Kematian menjadi options terakhir. Namun untuk berteriak memangil sang dewa maut aku tidak mempunyai keberanian. Kemungkinan membuat keluargaku dan orang sekitarku susah, kecewa dan malu membuatku berpikir berulang-ulang. Hingga waktuku habis dengan hanya duduk terpengkur berpikir mencari jalan untuk mengakhiri nestapa ini.
Lalu kucoba untuk bangkit dan menunjukan kebahagiaanku pada dunia. Tertawa pada sesuatu yang tak lucu, bercanda di tempat dan waktu yang salah, menangis di sela-sela tawa atau melempar lelucon yang sama sekali tidak jenaka. Hingga aku sendiri jadi hilang akal dan tidak tahu siapa aku sebenarnya. Badut pelipur lara atau si pendosa yang rindu akan bara api neraka.
Setiap lingkaran tidak mempunyai titik akhir. Betapa jauh berputar dan letih melangkah, tetap akan kembali ke titik semula. Sebuah perjalanan yang sungguh sangat sia-sia. Manusia mati hanya meninggalkan raga yang tak berdaya. Roh yang pergi tidak akan menengok kebelakang apalagi sempat mengubur raganya sendiri. Dia hanya akan meninggalkan kekacauan pada yang hidup. Andai aku bisa lenyap begitu saja tanpa meninggalkan apa-apa ketika aku mati, maka dengan senang hati aku akan merelakan diriku dalam haribaan sang dewa maut.
Ketakutan akan mati memberi motivasi untuk hidup. Namun ketakutan untuk hidup menghapus segala harapan dan mematikan asa. Hari ini adalah derita. Hari esok adalah nestapa. Dan lusa tak lebih dari sebuah fatamorgana. Hanya perjalan hidup yang sudah di gariskan, bukan destinasinya.
Dan dalam setiap tarikan nafasku hanya rintihan pilu beiring doa. Bila masa ku akan tiba…..tapi aku sama sekali tak ingin mengakhirinya
(kuchai lama, 25 nov’2009)