“Tapi kami belum pesan…” ucap
Surya heran.
Pelayan menunjukan nota
pemesanan, “ini notanya, apakah ada lagi yang ingin di pesan?”
Jodha mengambil nota yang di
sodorkan pelayan. Dia membcca daftar pesanan satu persatu. Semua menu
favoritnya sudah ada dalam daftar pesanan. Jodha menatap Surya. Surya
menggeleng. Dia iku memeriksa daftar pesanan.
“Banyak sekali…”
“Di situ tertulis untuk 3
orang..”
“Reservasi saya meja nomer 10,
untuk 2 orang…” jelas Surya
“Betul. Beberapa waktu yang lalu,
ada ralat, kalau reservasi atas nama Mr Suryabhan 3 orang…”
“Tapi saya tidak meralatnya…”
Pelayan hendak memanggil
managernya ketika Jalal datang. Melihat Jalal, pelayan memberi salam. Jalal
mengangguk.
“Kalian sudah dari tadi?” tanya
Jalal tanpa bersalah.
“Apakah Anda yang memesan ulang
meja kami?”
Jalal mengangguk, “iya, Apakah
ada masalah? Kalian bilang tidak keberatan kalau aku bergabung..”
Surya dan Jodha saling pandang.
Jodha mengangguk kearah Suryabhan. Suryabhan mengerti maksud Jodha dan tidak
memperpanjang masalah.
Lalu hidangan pembuka datang.
Chicken egg roll, Shrimp egg roll dan Gyoza. Selera makan Jodha langsung naik
melihat makan favoritnya. Jalal mengambil sumpit dan mengambil 3 macam
hiadangan itu di satu piring kecil, lalu menyodorkannya pada Jodha.
“Lady First…” ucapnya sambil
tersenyum penuh arti. Surya mengamati kelakuan Jalal dengantatapan penuh
selidik. Jalal pura-pura tak merasa, “selamat makan, Jodha…. Pak Surya.
Mari….!”
Jalal menyodorkan piring yang
lain kehadapan Surya. Surya mengucapkan terima kasih dengan sopan. Dia lalu
mengambil hidangan dengan sumpit dan meletakkan di piringnya..
Jodha makan Shrimp egg roll
dengan nikmat. Dia teringat dulu saat masih kuliah, dirinya dan Surya sering ke
Jln Sudirman hanya untuk menikmati Shrimp egg roll. Teringat itu Jodha
tersenyum.
Jalal melihat senyum Jodha dan
tergelitik untuk bertanya, “kenapa?”
Jodha menggeleng, “tidak apa-apa.
Aku hanya ingat dulu aku sering memaksa Surya agar mengantar ku ke restoran
Rice Bowl yang di Sudirman hanya untuk menikmati Shrimp egg roll…”
Surya turut tersenyum, “moment
tak terlupakan saat kita terjebak banjir…”
Jodha mengangguk. Jalal menatap
keduanya bergantian, “kalian berdua??”
Jodha menjelaskan pada Jalal
kalau dirinya dan Surya kuliah di Universitas yang sama tapi beda jurusan,
“kami pernah mengambil satu mata kuliah yang sama…”
“Jadi, kalian teman kuliah?” tanya
Jalal.
“Dulunya, dan berlanjut sampai
sekarang..” Jodha melirik Surya dengan akrab.
Jalal bertanya dengan rasa ingin
tahu, “apakah hanya sekedar teman?”
Surya balik bertanya, “maksud mu?”
“Maksudku … apakah kalian hanya
sekedar berteman? Kalian terlihat sangat akrab…” tanya Jalal
Jodha tertawa, “oh… kami pernah
hampir berpacaran. Tapi sayang, saat itu Surya telah bertunangan..”
Surya tersenyum kikuk. Jodha
menanyakan kabar tunangan Surya. Surya menjawab, kalau tunangannya itu telah
menikah dengan pria lain karena tidak sabar menunggunya. Jodha menyentuh lengan
Surya dan menghiburnya, “jangan sedih, kau pasti akan menemukan wanita yang
lebih baik . Kau ini pria idaman, Surya. Tidak susah bagimu menemukan wanita
lain, jika kau mau membuka diri…”
Surya tersenyum, “benarkah?”
Jodha mengangguk, “ya. Apakah ada
wanita yang sudah membuatmu terpikat?”
Surya terdiam sejenak, seperti
berpikir. Lalu jawabnya, “ada. Tapi aku tidak tahu, apakah dia punya perasaan
yang sama padaku…”
Jalal yang mengerti siapa yang di
tuju Surya berdehem, “kau harus mencari tahu dulu sebelum mengungkapkan isi
hatimu. Karena di tolak itu sangat menyakitkan…”
Surya menatap Jalal sambil
memicingkan mata, “oh ya? Apakah kau pernah di tolak wanita?”
Jalal menggeleng, “tidak…”
Surya mengejar, “tidak atau
belum?”
“Tidak dan tidak akan pernah!”
“Jangan terlalu percaya diri
dulu. Kau tidak akan tahu apakah di terima atau di tolak sampai kau mengatakan
perasaanmu padanya…” ucap Surya meniru kata-kata Jalal , redaksi berbeda tapi
maksudnya sama.
Jalal menggeleng pasti, “aku ini
tipe pria yang gigih, aku tidak akan mundur sampai wanita yang kucintai bilang
iya…”
“Wah, hebat sekali. Patut di
contoh itu Surya. Jangan mudah putus asa kalau memang mencinta. Seperti air
yang menetes diatas batu. Perlahan tapi pasti suatu ketika batunya pasti akan
berlubang. Itu batu lho. Apalagi wanita. Wanita di takdirkan memiliki perasaan
yang lembut dan peka, serta mudah luruh oleh perhatian dan limpahan kasih
sayang…”
“Benarkah?” tanya Jalal dan Surya
hampir bersamaan.
Jodha tertawa, “itu kata Meysha
Lestari dalam Novelettanya…”
Jalal dan Surya ber ‘Oh’
serempak. Jodha menghibur keduanya, “jangan cemas. Dalam mencintai wanita,
ketulusan kalian akan di uji. Karena hanya sesuatu yang di berikan dengan hati
akan di terima oleh hati…”
“Apa itu kutipan dari novel lagi?”
tanya Jalal.
Jodha menggeleng, “iya… oh tidak.
Itu prinsipku. Dalam melakukan sesuatu kita harus tulus dan ikhlas. Agar apa
yang kita berikan bermanfaat untuk yang menerima. Bukan begitu Surya?” Surya
mengiyakan.
Lalu pelayan datang mengantarkan
hidangan utama. Mereka bertiga menikmati
makan malam itu dengan damai. Meski ada bibit-bibit perseteruan antara Jalal
dan Surya, tapi mereka tetap berusaha terlihat akrab dan sopan. Tidak ada
sindiran-sindiran yang menyakitkan perasaan. Karena sepertinya baik Surya
ataupun Jalal sama-sama tidak ingin membuat Jodha merasa canggung dan terjepit.
Lalu setelah menyantap makanan
penutup, Surya memanggil pelayan untuk meminta bon. Tapi pelayan berkata kalau
pesanan sudah di bayar. Surya menatap Jalal. Jalal mengendikkan bahu.
“Kau seharusnya membiarkan aku
membayar 50% dari tagihan…” ucap Surya.
“Simpan saja dulu. Lain kali aku
juga ingin di traktir olehmu..” sahut Jalal dengan nada bercanda.
“Kalau ada lain kali...”
“Pasti! Malam ini aku sangat
senang. Karena aku punya kenalan baru, yaitu dirimu…” jelas Jalal. Dengan gentlemen,
Jalal mengulurkan tangan, “ayo kita jabat tangan sekali lagi…”
Surya menyambut uluran tangan
Jalal sambil berkata, “musuh gampang di cari, tapi teman yang baik, susah di temui…”
“Betul sekali. Semoga kita bisa menjadi
teman baik…” sahut Jalal.
Kedua pria itu berjabat tangan
lama. Seolah saling menjajagi kemampuan masing-masing. Melihat itu Jodha
berdehem, “kalian… tidak saling tertarik kan?”
Jalal dan Surya serentak saling
menepis tangan masing-masing. Melihat itu Jodha tertawa geli, “aku hanya
bercanda…”
Lalu Jodha mengajak kedua pria
itu meninggalkan restoran. Malam sudah larut. Jodha ingin kembali ke hotel.
Surya dan Jalal mengantarnya sampai Lobby. Surya berpesan pada Jodha agar besok
pagi tidak terlambat. Lalu Surya pamitan pada Jodha, karena dia juga harus
pulang. Dia mengajak Jalal juga. Tapi Jalal menggeleng, “aku tinggal. Hati-hati
di jalan..”
Surya dan Jodha menatap Jalal
dengan heran. Jodha bertanya, “apa maksudmu kau akan tinggal?”
“Aku menginap di sini. Di lantai 3,
kamar 105…” ungkap Jalal.
“Bukankah kau harus ke Bandung?”
tanya Jodha mengingatkan.
“Seharusnya memang begitu. Tapi aku
lelah sekali setelah menyetir mobil Jakarta –Bogor. Jadi aku memutuskan menginap di sini. Apa kau
keberatan?”
Jodha mengedik kan bahu, “tidak
masalah..”
Surya menatap Jalal dengan kesal.
Tapi di hadapan Jodha dia berusaha menyembunyikan kekesalannya itu. Surya
kembali berpamitan. Jodha berpesan agar Surya berhati-hati. Surya melambaikan
tangan dan pergi. Jodha membalas lambaian Surya, begitu pula Jalal. Surya melotot
kesal pada Jalal. Jalal tersenyum lebar.