-->

Hai !!! Selamat membaca..! Semoga menginspirasi...

Sebatang Kara

Senja Di bawah Kamboja Merah. Ibu ingin aku ada di sampingnya di saat-saat terakhirnya. Dia merasa kalau waktunya tidak lama lagi. Dia akan pergi menyusul ayah. Aku memenuhi keinginannya. Aku mengajukan cuti kuliah satu semester dan mendampingi ibuku siang malam.

Aku tidak tahu ibu sakit apa. Dia tidak mengatakannya. Dia pun tidak pernah minta di antar pergi ke dokter. Wajahnya tidak menunjukkan tanda-tanda kesakitan. Tapi setiap selesai Ashar, tubuhnya menggigil. Setiap kali aku bertanya, dia hanya menjawab kalau dia tidak apa-apa dan akan membaik setelah minum air putih hangat.

Selama itu pula ibu tak pernah hengkang dari sisiku kecuali untuk pergi ke kamar mandi. Kami menghabiskan waktu bersama. Masak bersama. Tidur bersama dan kemanapun bersama. Ibu terlihat sangat posesif dan selalu ingin kutemani.

Baca Juga:
Aku sangat senang. Karena kebersamaan ini begitu menyenangkan. Ibu yang biasanya pendiam dan tidak banyak bicara kini mulai membuka diri dan bercerita banyak hal. Tentang keluarganya yang tidak pernah ku kenal. Tentang masa lalunya dan tentang kisah-kisah mistik yang membuat bulu kuduk ku merinding. 

Suatu ketika, ibu mengajak ku ke ruang kerja ayah yang telah berubah menjadi gudang buku dan perpustakaan pribadi sejak ayah mangkat. Ibu menggambil sebuah buku dari dalam sebuah laci dan menunjukannya padaku.

“Maya, ini adalah buku harian ibu. Ibu menulisnya dengan tangan sendiri dan tidak ada seorangpun yang boleh membacanya selain dirimu. Semua jawaban dari pertanyaan yang ada dalam benakmu dulu, sekarang dan yang akan datang semua ada dalam buku ini. Kau harus mulai membacanya malam ini. Yang tidak kau mengerti, kau boleh tanyakan pada ibu. Baca dengan teliti dan seksama. Setelah kau selesai membacanya, simpan dengan baik di tempat tersembunyi atau kalau perlu bakarlah…”


“Kenapa bu?” tanyaku sambil membolak-balik buku itu tanpa berupaya membuka halamannya.

Ibu tersenyum, “kau akan tahu setelah kau selesai membacanya…”

Aku menatapnya penasaran. Ibu menarik kursi yang biasa di duduki ayah setiap kali bekerja dan mendudukan aku di atasnya, “duduklah di sini dan baca buku itu. Ibu akan kedapur sebentar untuk membuatkan kudapan untukmu…”

Aku menurut. Sebelum pergi, ibu menyingkap tirai jendela yang memaparkan pemandangan lembah menghijau di kejauhan.

Aku mulai membaca buku harian itu, dari awal. Semula aku menduga itu adalah diary seorang ibu rumah tangga dengan segala keluh kesahnya. Ternyata…

“Anakku Mayarani….” Begitu kalimat pembuka di buku harian itu. Aku merasa kalau buku itu memang benar-benar di tujukan untukku. Ibu menulisnya khusus untukku….

Seperti keinginan ibu, aku membaca buku itu dengan teliti dan seksama. Setiap kalimat yang tertera, ku coba untuk pahami dan cerna. Tapi banyak yang tidak ku mengerti dan tidak masuk logika. Semakin ku teruskan membaca, aku semakin penasaran dan tidak paham. Untung ibu selalu berada di sisi. Sesuai janjinya, ibu dengan telaten menjawab dan menjelaskan apa yang tidak ku mengerti. 
Membaca buku harian ibu dan mendengar penjelasannya adalah pekerjaan rutin setiap hari. Hanya saat waktu Mandi, Sholat dan Makan kami beranjak dari perpustakaan. Atau ketika ada sesuatu yang ingin di tunjukan oleh ibu padaku….

Aku sama sekali tidak tahu, dan tidak habis mengerti bagaimana ibuku mampu menyimpan rahasia besar seperti itu. Dulu aku selalu melihat ibu sebagai wanita lemah, yang selalu menunduk takzim saat di marahi nenek atau di tegur papa. Meski menurut hematku, ibu tidak bersalah. Nenek memang tidak menyukai ibuku, karena ibu sebatang kara dan tidak di ketahui silsilah serta bibit, bebet, bobotnya. 

Ibu mengaku sebagai anak yatim piatu yang tumbuh besar di rumah penampungan. Tapi aku tahu sekarang, itu adalah sebuah kebohongan yang terpaksa. Ibu memang yatim piatu, tapi dia tidak terlantar. Dia punya sebuah rumah besar di sebuah desa terpencil di lereng lawu. Rumah peninggalan keluarganya. Dan suatu malam dia membawaku kesana. Dalam mimpi…

Lalu di hari ke seratus dari kebersamaan kami. Ibu benar-benar pergi. Tanpa ku duga. Kejadiannya cepat sekali. Kami sedang pergi ke pasar. Turun dari mobil, tiba-tiba ibu mengeluh kalau dadanya sakit. Dia tak mampu lagi berdiri. Warga yang ada di sekitar kami segera menolong dan membantu membawa ibu ke puskesmas. Aku sangat cemas dan panik.

Saat ibu terbaring di lemah di ranjang puskesmas aku ingat penjelasannya tentang kemampuan turun temurun keluarga kami. Aku berniat membuktikannya. Aku hendak meraih jemarinya. Tapi ibu menepis tanganku dan menggeleng. Seulas senyum pasrah tersungging di bibirnya yang pucat. 

Lamat-lamat aku mendengar suaranya, “kau sendirian sekarang. Jaga dirimu baik-baik….”. Lalu ibu menghembuskan nafas terakhirnya tanpa aku bisa berbuat apa-apa. Dan aku menjadi sebatang kara…. ***

 NEXT: Selamat Tinggal Kawan

Popular Posts