Senja Di bawah Kamboja Merah. Dari dulu, Gunawan, pacarnya memang segudang. Dia tak bisa melihat wanita kinclong sedikit. Pasti langsung di tembak. Dan anehnya, para gadis itu merasa bangga jika mendapat ungkapan cintanya. Meski…. Hanya setakat ungkapan cinta. Karena biasanya, setelah cintanya di terima, dia akan menjauh begitu saja. Tidak tertarik lagi, bahkan untuk bertegur sapa.
Pernah aku menanyai hobbynya itu. Tapi jawabannya sungguh tidak masuk akal…
“Aku memang naksir mereka. Tapi begitu mereka bilang iya, aku tidak berminat lagi…” ungkapnya tanpa tedeng aling-aling.
“Kasihan… Mereka pasti berpikir kau benar-benar menyukainya..”
“Memang. Aku memang menyukai mereka. Masing-masing dari mereka punya keistimewaan sendiri. Ah,, kujelaskan pun kau tak akan paham. Ini selera laki-laki…”
“Selera lelaki primitif!” gumanku lirih.
“Apa?” sergah Gunawan sambil menatapku penasaran. Aku mengendikkan bahu engan. Malas mengulang.
“Siapa yang primitif?” kejarnya.
“Tidak ada…” Sahutku entang.
Gunawan menatapku dengan mata terpicing. Aku pura-pura tak melihatnya.
“Maya…” panggilmnya lirih. Aku tak menggubrisnya. Di towelnya pipiku, “Maya!”
Aku menepis tangannya, “apa sih? Pakai towel-towel segala..!”
Gunawan tersenyum manis. Di meraih jemariku. Aku menarik tanganku jengah. Gunawan memperat pegangannya. Sambil menatapku sendu dia berkata lembut, “Maya… kau tahu. Kau ini istimewa, berbeda dengan gadis-gadis lain. Apakah kau tahu kalau sebenarnya aku naksir dirimu sejak dulu?”
Baca Juga:
Aku menoleh kearahnya dengan tatapan aneh. Gunawan mengangguk meyakinkan. Aku menarik jemariku yang berada dalam genggamannya dengan kasar, “kau gila? Kayak nggak ada gadis lain saja!”
Tanpa menunggu jawabannya aku beranjak pergi. Gunawan membuntutiku, “aku sungguh-sungguh Maya!”
Aku mempercepat langkahku. Pura-pura tak mendengar ocehannya. Gunawan melangkah cepat dan menghadang jalanku, “aku serius. Sejak dulu aku menunggu kesempatan ini. Aku menyukaimu. Mau kah kau menjadi pacarku?”
Aku menatapnya. Gunawan balas menatapku dengan senyum manisnya yang menawan. Aku hampir goyah dan terjerat tipuannya. Tapi aku adalah Mayarani. Narsikus sejati yang tidak akan goyah ataupun tertipu rayuan palsu Play boy cap segitiga biru yang jadi sahabatku ini.
Dengan kasar aku mendorong kening Gunawan dengan telunjukku. Tentu saja sambil mengancam, “minggir! Kalu kau tak berhenti menggangu aku, aku akan membuka rahasiamu di hadapan semua orang!”
Gunawan menatapku kaget. Lalu sambil memasang wajah pura-pura lugu dia bertanya, “rahasia apa?”
Aku hendak menjawab pertanyaanya sebuah suara dari arah belakangku menanyakan pertanyaan serupa, “iya, rahasia apa? Aku juga ingin tahu!”
Aku menoleh. Susi berdiri dengan tatapan ingin tahu. Aku hendak membuka mulut ketika Gunawan menyerobot lebih dulu, “tidak ada rahasia apa-apa. Ini… ini adalah pembicaraan 2 sahabat. Iyakan Maya? Aku janji, aku tidak akan menggangumu lagi.. Happy?”
“Tidak akan menjahiliku lagi?” tuntutku. Gunawan mengangguk cepat.
Aku mengejarnya lagi, “Janji?!”
Gunawan mengiyakan, “janji!”
Aku mengedipkan mata pada Susi, “kau dengar itu? Gugun berjanji tidak akan menjahili dan mengganguku lagi. Kau saksinya…”
Baca Juga:
- Menipu hati
- Playboy cap Segitiga biru
- Jodha Akbar, Happy Ending love story
- Puisi Cinta yang Hilang
- Senja di bawah Kamboja Merah
- Kutitipkan Rinduku pada Rumput yang bergoyang
Susi tersenyum, “iya. Tapi rahasia apa yang kalian bicarakan?”
“Oh itu. Ayo kuberitahu…! Tapi jangan di sini..” aku merangkul pinggang Susi dan mengajaknya pergi.
Gunawan meneriaki aku, “Mayarani!! Kau sudah janji!”
Aku menatapnya, “janji apa? …”
“Rahasia kita…” ucap Gunawan putus asa.
Aku mengedipkan mata menggoda, “oh iya. Rahasia itu. Kau pasti ingin tahu kan Sus? Ini antara kita saja…” ***
Aku dan Susi duduk di bangku di bawah pohon kemuning yang ada di depan lab biologi.
“Beritahu aku, apa yang di rahasiakan Gunawan?”
“Nggak ada. Aku hanya ingin mengganggunya saja..”
“Aku tidak percaya. Kalau tidak ada apa-apa, kenapa dia terlihat begitu cemas..” kata Susi dengan nada penasaran.
“Kau benar-benar ingin tahu?” Tanyaku meyakinkan. Susi mengangguk.
Aku memberitahu Susi rahasia Gunawan yang lain, “dia menyukaimu. Tapi ku bilang padanya kau tidak berminat…”
“Apa??” teriak Susi kaget. Aku sampai terlonjak mendengar suara kerasnya.
“Apa yang salah?”
“Kenapa kau bilang aku tidak berminat? Kau tahu kalau aku menyukai dia sejak dulu..” protes Susi.
“Dia play boy! Pacarnya banyak. Kau tak mau jadi salah satu dari cewek koleksinya kan?”
“Tentu saja tidak! Akan ku buat dia memutuskan pacar-pacarnya sebelum pecaran denganku!”
“Kayak nggak ada cowok lain aja!”
“Cowok lain banyak. Tapi yang berkharisma dan menawan cuma Gunawan..”
Aku ternganga tak percaya mendengar kalimat terakhirnya, “berkharisma dan menawan? Halloooo! Yang kau bicarakan itu Gunawan lho Sus! Ingat Gu-na-wan! Cowok play boy yang pacarnya merata di mana-mana. Pla boy cap segitiga biru yang bikin para gadis tersedu-sedu tiap malam minggu. Kamu mau jadi salah satu dari mereka? Ngantri untuk di apelin?”
Susi memutar bola matanya, “kau terlalu berlebihan! Aku hanya ingin membuat dia insaf. Harus ada yang ambil tindakan. Kalau dia naksir padaku, aku akan gunakan kesempatan itu…”
Aku kesal karena Susi tak mau mendengar kata-kataku, “terserahmulah! Tapi awas, jangan datang padaku kalau suatu saat dia menyakiti hatimu!”
Susi mengangguk penuh percaya diri, “itu tidak akan terjadi!”
“Jangan terlalu percaya diri dulu. Kau tidak mengenal Gunawan seperti aku..” ucapku.
“Itulah yang mengherankan. Kau sangat dekat dengannya. Apa kau tak ingin menjadi pacarnya?” tanyanya lugu.
Aku melotot jengah, “Apa???....”
Sebelum aku membebel panjang lebar, Susi memotong ucapanku, “ya..ya…. mana mau Mayarani menjadi pacar playboy cap segitiga biru, kan?”
“Kan!” sahutku mengiyakan. Susi tertawa mendengarnya..