Senja Di bawah Kamboja Merah. Dari SMA kelas 2, Susana dan Gunawan mulai pacaran. Gaya bercinta anak muda pun di terapkan. Sering jalan berdua, bikin janji temu di mana saja. Seolah tiada bosan berduaan. Dan Susi benar-benar memberi pelajaran pada Gunawan. Gugun yang mata keranjang menjadi alim dan meninggalkan kebiasannya mengoleksi pacar. Insting playboy Gunawan benar-benar bisa di kendalikan. Tidak ada lagi julukan playboy cap segitiga biru yang kusematkan padanya.
Sepanjang kebersamaan keduanya, nyaris tak pernah ada sengketa. Susi benar-benar menepati ucapannya, bahwa dia tidak akan datang untuk mengeluh kalau sampai Gunawan selingkuh atau membuat ulah. Dan memang hubungan mereka lancar-lancar saja. Aku mulai tersingkir dari hidupnya dan kami tidak lagi saling berkomunikasi karena kesibukan kuliah.
Aku dan Susi kuliah di Universitas yang sama hanya beda Fakultas. Aku mengambil Psikologi dan dia di Fakultas Ekonomi. Sementara Gunawan mengambil jurusan Biologi. Disela-sela waktu luang aku ikut kegiatan mahasiswa pecinta alam. Banyak seminar dan ekspedisi yang kuikuti. Kuliahku keteteran tapi tetap selalu ku nomor satukan.
Susi terlupakan. Hingga malam itu, ketika dia datang saat aku baru pulang dari ekspedisi ke gunung gede. Itu pertama kalinya dia mengeluh tentang Gunawan. Pertama kalinya aku melihat dia menangis tak berdaya karena cinta.
Aku tidak pernah bercinta. Jadi aku tidak tahu bagaimana rasanya kecewa dan merana karena cinta. Karena itu aku juga tidak tahu bagaimana menghiburnya. Aku hanya berupaya menjadi pendengar yang setia.
Susi memberitahu semuanya padaku. Bahwa selama ini hidupnya dalam tekanan. Dia tertekan oleh kebiasaan buruk Gunawan. Kabar burung dan selentingan miring beredar di mana-mana. Dia ingin mengadu padaku tapi ingat janjinya dulu. Jadi dia menyimpan semuanya untuk diri sendiri. Sampai dia merasa tak mampu lagi.
“Kenapa kau tak memutuskannya? Kau bisa memulai hubungan baru dengan orang lain..” saranku.
“Tidak semudah itu Maya. Aku terlanjur cinta padanya. Aku merasa hidupku hampa tanpa dirinya…”
“Benarkah? Kau berlebihan. Kalian kan baru taraf pacaran, penjajakan. Belum terlambat untuk menyudahinya…”
Lalu seperti kebiasaanku, aku mulai membebel panjang lebar untuk mengingatkan siapa Gunawan. Betapa sejak dulu aku selalu memasang mata dan mengawasi Gunawan untuk Susi. Kebetulan rumahku bersebelahan dengan Rumah Gunawan. Begitu keduanya pacaran, aku menjadi kamera pengintai yang mengawasi segala tindak tanduknya. Sedikit dia bertingkah, aku mengacungkan kepalan tanganku kearahnya.
“… dulu dia tidak begitu Maya. Dia selalu perhatian padaku. Kalau pun tidak bisa lagi bertemu sesering dulu, dia selalu menyempatkan diri menelponku. Tapi beberapa bulan ini, dia sangat berubah…”
“Kalau dia kembali pada kebiasaan lamanya, sudahi saja!”
“Aku tidak bisa!”
“Apa yang tidak bisa? Kau belum mencobanya. Cowok bukan hanya dia saja. Beberapa waktu lalu, aku sempat motong jalan ke rektorat lewat FE, dan kulihat cowoknya keren-keren. Bahkan banyak yang lebih menawan dari Gunawan..”
“Kau tidak mengerti..!” ucap Susi putus asa.
Aku menatapnya sedih. Karena tak tahu harus bagaimana lagi. Aku ingin menghiburnya. Memberinya saran yang bisa meringankan kesedihannya. Tapi seperti kata pepatah lama, kalau tidak pernah mengalami tidak akan tahu bagaimana rasanya terperangkap dalam cinta. Ingin meneruskan tapi tak ada lagi kecocokan, ingin menyudahi tapi terlanjur mengasihi.
Akhirnya daripada membuat susi frustasi, aku mengalihkan pembicaraan. Aku memberitahunya tentang pengalaman yang kudapat setiap kali ikut ekspedisi. Tentang edelweis yang diam-diam ku koleksi. Kuceritakan lelucon-lelucon lucu agar sahabat baik ku itu bisa tersenyum kembali.
Dan saat dia terkekeh geli mendengar bagaimana aku diperdayai teman-temanku dengan memakan jering untuk mengusir nyamuk, aku merasa menemukan sahabat ku kembali. Susana yang selalu ceria dan sumringah. Dan aku baru sadar, mengapa hidupku selama ini terasa hampa. Itu karena aku sangat merindukannya …
NEXT:
Don Juan Kapal Perang
Don Juan Kapal Perang