Suasana di apotik dan toko herbal
yang di kelola Jodha sedang ramai pengunjung. Sebagai Apoteker, Jodha sibuk
memeriksa resep dokter yang di sodorkan pasien dan memberi arahan pada
asistennya untuk menyiapkan obat seperti yang tertera di resep. Setelah obat
tersedia, Jodha memanggil konsumen dan memberi penjelasan tentang obat yang di
tebusnya, seperti manfaat dan kegunaan serta cara mengkonsumsinya, termasuk juga
kontra indikasinya. Dalam melaksanakan tugasnya, Jodha benar-benar berdedikasi.
Apotik yang dikelolahnya bekerja
sama dengan banyak dokter dan klinik kesehatan, baik dokter yang praktek
pribadi atau dokter rumah sakit. Hampir semua dokter menganggumi kinerja Jodha
dan merekomendasikan Apotik Hidup Sehat sebagai tempat menebus resep dokter
terbaik. Jodha tidak pernah membujuk pasien untuk membeli obat lain jika obat
yang di resepkan dokter tidak ada. Kalau pun ada niat untuk memberikan obat
pengganti yang serupa dengan merek berbeda, Jodha pasti berkonsultasi terlebih
dahulu dengan dokter yang mengeluarkan resep. Jika dokter bersangkutan
mengizinkan, baru Jodha memberikan obat pengganti yang serupa namun dengan
merek berbeda. Tapi intinya, semua yang di lakukan Jodha bisa dia
pertanggungjawabkan secara moral dan ilmiah.
Jodha merupakan sarjana farmasi
lulusan UI yang memutuskan kembali ke kota kelahirannya untuk mengabdikan diri
pada masyarakat sebagai apoteker di apotek miliknya sendiri. Semula keinginan
Jodha itu tidak di dukung oleh Tuan Bharmal Wismoyo, ayahnya. Seorang tuan
tanah yang idealis dan perfeksionis. Yang perkebunan Lada, cengkeh dan kopinya
tersebar di pelosok kota. Tuan Bharmal ingin Jodha meneruskan usahanya
mengelola perkebunan. Tapi dengan halus Jodha menolak. Tuan Bharmal sempat
kecewa, tapi melihat pasion Jodha di dunia pengobatan dan farmasi, Nyonya
Menawati membujuk suaminya agar memahami dan mengerti keinginan Jodha. Dan menyarankan
agar tuan Bharmal membagi tanggungjawab perkebunan pada anak-anak lelaki
mereka.
Tapi Tuan Bharmal menolak,
menurutnya hanya Jodha yang mampu memenej perkebunan mereka dengan baik.
Sementara anak-anak lelaki nya tidak punya kemampuan itu. Mereka memang pekerja
keras dan sangat rajin, tapi mengatur pembukuan dan keuangan butuh keahlian.
Dna hanya Jodha yang memiliki bakat alami untuk itu.
Bhagwandas memang memiliki tangan
malaikat, apapun yang di tanamnya, akan tumbuh dengan bagus tapi dalam hal
managemen dia tidak sepintar Jodha. Begitu pula adik-adik Bhagwandas, mereka
pekerja yang rajin, tapi kemampuan managemen mereka juga tidak bagus. Karena
itulah, seminggu 2 kali, Jodha pergi kegudang untuk memeriksa managemen
perkebunan mereka, terutama masalah keuangan dan stok barang perkebunan.
Seperti sore itu. Sepulang dari
apotek, Jodha langsung ke gudang. Dia memeriksa pembukuan. Banyak tanaman
palawija yang di panen minggu itu. Dia melihat struk penjualan hasil panen dan
mengkalkulasi ulang dengan biaya produksi yang di keluarkan untuk penanamannya.
Hasilnya, terlihat keuntungan yang cukup besar. Jodha terlihat puas.
Mandor yang di percaya mengurus
lahan palawija dan Bhagwandas menemui Jodha. Bhagwandas mempunyai rencana untuk
menanami bekas lahan yang telah di panen dengan tanaman tumpang sari Buncis dan
Cabe. Karena tanaman terakhir yang di tanam adalah jagung manis, Jodha menurut
saja dengan ide Bhagwandas. Jodha meminta Bhagwandas menghitung semua biaya
produksi yang di butuhkan berikut benih beserta pupuk dan pestisidanya.
Menghitung biaya produksi sebelum
pengolahan tanah, adalah prinsip utama manajemen Jodha. Dia tidak mau
berspekulasi. Dia punya prinsip, kalau mau kerja yang harus bekerja 100%, tidak
ada namanya coba-coba. Karena keberlangsungan perkebunan itu menyangkut hajat
hidup orang banyak. Baik para pekerja
musiman ataupun harian.
Tanah seluas 50 ha yang di miliki
keluarga Wismoyo terdapat di batas kota. Di tanah dataran tinggi yang
berbatasan dengan hutan bukit barisan. Meski berada di dekat hutan, tapi
tanah itu merupakan tanah marga. Yang di
beli keluarga Wismoyo dari para petani Transmigrasi yang tidak kerasan tinggal
di sana.
Kisahnya, dulu di zaman rezim
Orda, pemerintah melakukan transmigrasi besar-besaran untuk penduduk pulau
jawa. Salah satu daerah tujuan transmigrasi itu adalah kota di mana Jodha
tinggal sekarang. Dulu kota itu tidak seramai sekarang. Hampir sebagian besar
masih berupa hutan belukar. Setelah menjadi daerah transmigrasi di lakukan
perombakan besar-besaran. Setiap warga trans mendapatkan jatah tanah 2,5 ha
yang telah di olah dan siap tanam. Yang kerasan terus tinggal, mengolah tanah
dan menanaminya dengan tanaman kopi yang merupakan tanaman lokal. Yang tidak
kerasan menjual tanah itu pada orang lain dan dengan berbekal uang hasil
penjualan lahan itu kembali ke pulau jawa. Dan leluhur Jodha, adalah salah satu
warga trans yang betah dan berhasil memperluas tanahnya dengan membeli
tanah-tanah yang di jual oleh warga trans yang tidak kerasan. Dengan semangat
kerja yang tinggi, leluhur Jodha berhasil mengukuhkan diri sebagai tuan tanah
dan mewariskan tanah perkebunan itu pada anak lelaki satu-satunya, Tuan
Bharmal.
Sesuai peraturan keluarga,
sebagai anak lelaki satu-satunya, Tuan Bharmal mewarisi tanah keluarga dan
bertanggung jawab atas kehidupan saudara-saudara perempuannya. Setiap tahun,
50% dari keuntungan bersih perkebunan masuk ke kas keluarga. Uang kas itu kelak
akan di gunakan untuk membeli sebidang tanah atau sebuah rumah untuk tempat
tinggal saudara-saudaranya yang lain di manapun mereka menginginkannya. Jadi ilah-ilah tidak
mendapatkan warisan keluarga berupa tanah perkebunan dan isinya, saudara yang
lain berhak untuk mendapatkan sebidang tanah/rumah atau yang seharga dengannya.
Karena itulah, tuan Bharmal yang
memiliki 3 putera dan seorang puteri, sangat berhati-hati dalam menentukan
siapa calon pewaris perkebunan nanti. Karena mengurus tanah warisan itu butuh
ketekunan dan ketulusan yang tinggi. Sebenarnya, pilihannya jatuh pada Jodha.
Tapi karena Jodha anak perempuan, dia tidak punya hak waris terhadap tanah,
tapi hak bagi hasil bersama kedua saudara lelakinya yang lain. Siapapun yang
akan di pilih oleh ayah mereka untuk mengurus tanah perkebunan itu harus
menerima keputusan itu secara aklamasi.
Karena menjadi ahli waris berarti memikul tanggung jawab besar.
NEXT