Jodha mengangguk, “menurutku
begitu ayah. Kalau kita bisa memasukkan klausa yang kita inginkan kedalam
kesepakatan itu, maka akan menjadi keuntungan besar bagi kita. Apalagi siklus
masa panennya sangat singkat hanya 65 hari setelah tanam. Diatas kertas
prospeknya sangat bagus sekali. Apalagi kita tak perlu mencari pembeli, hasil
panen di tampung oleh mereka…”
Tuan Bharmal mengangguk-angguk, “baiklah…”
“Tapi ayah,..” Bhagwandas
menyela, “Aku sudah order bibit kacang panjang dan benih cabe. Tadi sore, aku
telah bicara pada Jodha. Dan dia setuju. Jadi aku…”
“Tidak masalah bang, kita bisa
gunakan lahan C untuk proyek abang. Sementara lahan A,B, F dan G, kita gunakan
untuk okra. Mereka toh hanya butuh 1 ha. Bagaimana?”
Bhagwandas mengangguk setuju.
Kakak kedua Jodha Khangar Singh bertanya, “jadi kapan kita mulai?”
Tuan Bharmal menyahut, “pengolahan
tanah, bisa kalian lakukan secepatnya. Siapkan olah tanah standar saja….” Dan pertemuan
keluarga itupun berakhir. Semua kakak Jodha beranjak pergi. Tuan Bharmal menghampiri
Jodha yang sedang membereskan berkas file kedalam map.
Tuan Bharmal mengelus kepala
Jodha, “nak, kau yang akan mewakili kami dalam kesepakatan ini. Lakukan yang
terbaik ya…”
“Tapi ayah, lusa aku ada seminar.
Bagaimana kalau bang Bhagwandas saja?” usul Jodha keberatan.
Tuan Bharmal mengangguk, “iya.
Dia juga akan ikut mendampingimu. Tapi
semua kelancaran pertemuan itu ada padamu. Ini kesepakatan pertama dengan PT
Arcana, jangan kecewakan mereka… atau ayah. Kau tahu, abangmu kan? Dia terlalu
segan kalau mengeluarkan pendapatnya di depan orang. Bisakah kau melakukannya
untuk ayah, nak?”
Jodha mengangguk dengan hati
berat. Bharmal gembira. Dia mencium kening Jodha dan beranjak pergi. Jodha
terdiam dalam dilema. Lusa ada seminar apoteker se Indonesia di Bandung. Tiket
dan akomodasi sudah di pesan. Jodha ingin pergi, tapi dia juga tak bisa menolak
permintaan ayahnya. Otaknya bekerja keras mencari solusi terbaik.
Jodha berlari mengejar Bharmal
yang sedang menaiki tangga ke lantai atas, “Ayah…”
Bharmal menoleh, “ya?”
“Apakah ayah bisa menghubungi
Nyonya Hamida?” ***
Belum lagi jam 8 pagi, Fortuner
metalik sudah terparkir di depan rumah besar keluarga Bharmal. Tuan Bharmal
yang sedang duduk beranda sambil membaca koran pagi, kaget menerima kunjungan
mendadak itu.
Bharmal bergegas bangkit dan
menyambut Hamida, “saya tidak menyangka, Nyonya akan datang sepagi ini…”
“Kami akan pergi ke Teluk untuk
beberapa hari. Tapi sebelum itu, saya ingin mendengar kepastian tentang kerjasama
kita…”
Tuan Bharmal mempersilahkan
Hamida masuk kerumah. Tapi Hamida menolak, dia memilih duduk diberanda. Tuan
Bharmal pamit kedalam. Dia memanggil Menawati
agar memberitahu Jodha dan abang-abangnya.
“Jodha pergi Jogging…” ucapnya.
Tuan Bharmal binggung, “telpon
dia…” ***
Sementara Tuan Bharmal kelabakan
di dalam, Jodha terlihat berjalan santai memasuki halaman rumah. Di kepalanya
melingkar headset dan di tangannya ada alat pengukur nadi. Sweatshirt berwarna
hijau membalut tubuhnya yang ramping.
Jalal yang baru turun dari
kemudi, terpesona melihat Jodha. Hamida yang melihat reaksi Jalal tersenyum penuh misteri. Jodha tidak melihat kehadiran ibu dan
anak itu. Dia meliat krisan nya merunduk karena kelopaknya keberatan menanpung
air hujan. Dengan penuh kasih sayang, Jodha menegakkan tangkai bunga krisan itu
dan menyanggahnya dengan ranting kering.
Menawati melihat Jodha dan memanggilnya,
“Jodha….” Jodha tidak mendengar panggilan Menawati karena telinganya tertutup
headset. Tak urung, panggilan menawati menyadarkan Jalal dari keterpesonaannya.
Jalal menoleh kearah Menawati yang masih memanggil dengan putus asa. Jalal
mengangkat melambai dan menunjuk pada dirinya sendiri. Menawati mengangguk.
Jalal menghampiri Jodha dan
menepuk pundaknya. Jodha menoleh kaget. Jalal
melangkah mundur selangkah sambil memberi isyarat agar Jodha melepas
headsetnya. Jodha bangkit sembari melepas headset. Dia menatap Jalal dengan
tatapan penuh selidik.
“Ada yang memanggil…” jelas Jalal.
Jodha menoleh kearah Menawati
yang melambai. Jodha tersipu, “oh maaf… saya tidak mendengarnya..”
“Bisa di maklumi…” sahut Jalal.
Jodha hendak melangkah kearah
Menawati. Tapi Jalal menghalangi langkahnya dan bertanya dengan rasa ingin
tahu, “ini semua…. Maksudku bunga-bunga ini, indah sekali. Apakah dirimu yang
menanamnya?”
Jodha mengangguk sambil
tersenyum, “ya. Begitulah…” Jodha hendak melangkah lagi. Tapi Jalal tak mau
memberinya jalan.
“Yang unggu itu… aku tidak pernah
melihat bunga seperti itu, apa namanya?” tanya Jalal.