-->

Hai !!! Selamat membaca..! Semoga menginspirasi...

Cinta yang terbagi bag 3


Jodha mengangguk, “menurutku begitu ayah. Kalau kita bisa memasukkan klausa yang kita inginkan kedalam kesepakatan itu, maka akan menjadi keuntungan besar bagi kita. Apalagi siklus masa panennya sangat singkat hanya 65 hari setelah tanam. Diatas kertas prospeknya sangat bagus sekali. Apalagi kita tak perlu mencari pembeli, hasil panen di tampung oleh mereka…”
Tuan Bharmal mengangguk-angguk, “baiklah…”

“Tapi ayah,..” Bhagwandas menyela, “Aku sudah order bibit kacang panjang dan benih cabe. Tadi sore, aku telah bicara pada Jodha. Dan dia setuju. Jadi aku…”

“Tidak masalah bang, kita bisa gunakan lahan C untuk proyek abang. Sementara lahan A,B, F dan G, kita gunakan untuk okra. Mereka toh hanya butuh 1 ha. Bagaimana?”

Bhagwandas mengangguk setuju. Kakak kedua Jodha Khangar Singh bertanya, “jadi kapan kita mulai?”

Tuan Bharmal menyahut, “pengolahan tanah, bisa kalian lakukan secepatnya. Siapkan olah tanah standar saja….” Dan pertemuan keluarga itupun berakhir. Semua kakak Jodha beranjak pergi. Tuan Bharmal menghampiri Jodha yang sedang membereskan berkas file kedalam map.

Tuan Bharmal mengelus kepala Jodha, “nak, kau yang akan mewakili kami dalam kesepakatan ini. Lakukan yang terbaik ya…”

“Tapi ayah, lusa aku ada seminar. Bagaimana kalau bang Bhagwandas saja?” usul Jodha keberatan.

Tuan Bharmal mengangguk, “iya. Dia juga akan ikut  mendampingimu. Tapi semua kelancaran pertemuan itu ada padamu. Ini kesepakatan pertama dengan PT Arcana, jangan kecewakan mereka… atau ayah. Kau tahu, abangmu kan? Dia terlalu segan kalau mengeluarkan pendapatnya di depan orang. Bisakah kau melakukannya untuk ayah, nak?”

Jodha mengangguk dengan hati berat. Bharmal gembira. Dia mencium kening Jodha dan beranjak pergi. Jodha terdiam dalam dilema. Lusa ada seminar apoteker se Indonesia di Bandung. Tiket dan akomodasi sudah di pesan. Jodha ingin pergi, tapi dia juga tak bisa menolak permintaan ayahnya. Otaknya bekerja keras mencari solusi terbaik.

Jodha berlari mengejar Bharmal yang sedang menaiki tangga ke lantai atas, “Ayah…”

Bharmal menoleh, “ya?”

“Apakah ayah bisa menghubungi Nyonya Hamida?” ***

Belum lagi jam 8 pagi, Fortuner metalik sudah terparkir di depan rumah besar keluarga Bharmal. Tuan Bharmal yang sedang duduk beranda sambil membaca koran pagi, kaget menerima kunjungan mendadak itu.

Bharmal bergegas bangkit dan menyambut Hamida, “saya tidak menyangka, Nyonya akan datang sepagi ini…”

“Kami akan pergi ke Teluk untuk beberapa hari. Tapi sebelum itu, saya ingin mendengar kepastian tentang kerjasama kita…”


Tuan Bharmal mempersilahkan Hamida masuk kerumah. Tapi Hamida menolak, dia memilih duduk diberanda. Tuan Bharmal pamit kedalam. Dia memanggil Menawati  agar memberitahu Jodha dan  abang-abangnya.

“Jodha pergi Jogging…” ucapnya.

Tuan Bharmal binggung, “telpon dia…” ***

Sementara Tuan Bharmal kelabakan di dalam, Jodha terlihat berjalan santai memasuki halaman rumah. Di kepalanya melingkar headset dan di tangannya ada alat pengukur nadi. Sweatshirt berwarna hijau membalut tubuhnya yang ramping.

Jalal yang baru turun dari kemudi, terpesona melihat Jodha. Hamida yang melihat reaksi Jalal  tersenyum penuh misteri. Jodha tidak melihat kehadiran ibu dan anak itu. Dia meliat krisan nya merunduk karena kelopaknya keberatan menanpung air hujan. Dengan penuh kasih sayang, Jodha menegakkan tangkai bunga krisan itu dan menyanggahnya dengan ranting kering.

Menawati melihat Jodha dan memanggilnya, “Jodha….” Jodha tidak mendengar panggilan Menawati karena telinganya tertutup headset. Tak urung, panggilan menawati menyadarkan Jalal dari keterpesonaannya. Jalal menoleh kearah Menawati yang masih memanggil dengan putus asa. Jalal mengangkat melambai dan menunjuk pada dirinya sendiri. Menawati mengangguk.

Jalal menghampiri Jodha dan menepuk pundaknya. Jodha menoleh  kaget. Jalal melangkah mundur selangkah sambil memberi isyarat agar Jodha melepas headsetnya. Jodha bangkit sembari melepas headset. Dia menatap Jalal dengan tatapan penuh selidik.

“Ada yang memanggil…” jelas Jalal.

Jodha menoleh kearah Menawati yang melambai. Jodha tersipu, “oh maaf… saya tidak mendengarnya..”

“Bisa di maklumi…” sahut Jalal.

Jodha hendak melangkah kearah Menawati. Tapi Jalal menghalangi langkahnya dan bertanya dengan rasa ingin tahu, “ini semua…. Maksudku bunga-bunga ini, indah sekali. Apakah dirimu yang menanamnya?”

Jodha mengangguk sambil tersenyum, “ya. Begitulah…” Jodha hendak melangkah lagi. Tapi Jalal tak mau memberinya jalan.

“Yang unggu itu… aku tidak pernah melihat bunga seperti itu, apa namanya?” tanya Jalal.

Popular Posts