Senja Di bawah Kamboja Merah. Aku sedang melangkah melintasi lapangan Volly menuju kantin kampus FP ketika Gunawan mencegatku.
“Hi Don Juan…!” sapaku saat melintas di depan Gunawan. “Sudah lama kau berdiri di sini??”
“Sampai jenggotan!” sahut nya sambil menjejeri langkahku. “Kau panggil aku apa tadi?”
“Don Juan! Don Juan kapal perang! Muahahaha…” ucapku mengejeknya. “Pas banget ya?”
“Nggak lucu!” sentak Gunawan dengan memasang wajah sebal.
“Memang ada selingkuh yang lucu?” tanyaku to the point. Langkah Gunaawan seketika terhenti.
“Kau sudah bertemu dengan Suzana?” tanyanya gusar dan penasaran. “Apa katanya?”
“Katanya….,” aku sengaja mengantung kata-kata untuk membuatnya semakin penasaran. “……aku lapar!”
“Oh jadi ingat, mbok Parmi kemarin nayain kamu. Kangen kali…” ucap Gunawan sambil membelokan langkahnya memasuki pelantaran kantin. Aroma soto ayam favoritku sudah tercium. Aku menggegaskan langkah.
Dari belakang, kudengar Gunawan mengejek, “nggak usah buru-buru. Pasti mbok Parmi akan menyisakan semangkuk sotonya yang lezat untuk mu.” Aku mengerling kearahnya dengan senyum simpul. Tau aja, gumanku dalam hati.
Senyum mbok Parmi menyambutku begitu aku melangkah masuk. Setelah berbasa basi sejenak dengan perempuan tua itu, aku menghampiri Gunawan yang sudah lebih dulu membooking tempat duduk.
“Sambil menunggu hidanganmu datang, ceritakan padaku apa kata Suzana?” pinta Gunawan.
Aku terdiam sejenak pura-pura berpikir. Lalu dengan tatapan yang kutajam-tajamkan aku menatapnya. Tepat kematanya. “Suzana bilang, kau berselingkuh dengan Saskia.”
Gunawan balas menatapku, “Kau percaya?”
“Percaya apa?”
“Kalau aku berselingkuh?”
Aku tertawa geli, “Kenapa tidak? Memang ada alasan bagiku untuk tidak percaya?”
Gunawan melotot, “Kau sahabat ku! Seharusnya kau tau aku tidak mungkin berbuat sekonyol itu..apalagi terhadap Suzana.”
“Gunawan, karena aku tahu siapa dirimu…makanya aku percaya apa yang di katakan Suzana. Selain itu, Suzana juga adalah sahabatku…jadi tidak mungkin dia me-reka cerita. Paham?” tandasku dengan nada setegas mungkin. Dengan Gunawan harus sedikit keras dan tegas. Kalau sampai luluh terbujuk dalam kata rayuannya bahaya. Bisa-bisa perang sahabat nih.
Gunawan menggeleng putus asa, “Aku sudah berubah! Aku bukan lagi playboy cap segitiga biru yang kau benci dulu. Aku tulus mencintai Suzana…! Tolonglah Maya, jelaskan padanya! Dia salah paham….”
“Ogah..!” sahutku cepat. “Kau jelaskan sendiri. Aku nggak mau ikut campur.”
“Jangankan bicara padaku, menemuiku pun dia tidak mau,” ucap Gunawan dengan wajah tertunduk lesu. “Aku sangat mencintainya, Maya. Aku tidak tahu apa jadinya kalau sampai…”
“Kalau sampai apa?” potongku.
“..kalau sampai dia memutuskan aku!” sahutnya dengan keluh.
Aku mau tak mau jadi iba juga melihat wajahnya yang sedih itu, “relax! Banyak gadis di luar sana. Kau bisa pilih salah satu dari mereka. Tinggalkan sahabatku! Aku tak rela dia bersedih dan berduka karenamu…”
“Maya!...” Gunawan hendak protes. Untung mbok Parmi keburu datang membawa semangkok soto dan setoples kerupuk udang pesanan Gunawan. Aku segera meraih mangkok sotoku dan menikmati isinya. Gunawan mengamati ku dengan tidak sabar. Dia tahu kalau sedang makan aku tak ingin di ganggu. Dia menunggu sambil makan kerupuk dan minum teh botol yang sekali sruput tinggal separoh.
Melihat soto di mangkok bersih tak bersisa, Gunawan menawariku agar nambah. Aku menolak. Gunawan terlihat lega. Aku menyeruput teh botol milikku yang masih utuh.
“Bantulah aku maya. Bujuklah Susi agar mau bicara padaku. Aku tak tahan di diamkan seperti itu..”
“Bukankah sudah berbulan-bulan kalian diam? Susi bilang sudah lama kau tidak menghubunginya. Apakah itu upaya untuk menjauhinya?”
Gunawan menyangkal, “sama sekali bukan. Aku banyak tugas pratikum..”
“Alasan!”
“Sungguh!”
“Kau tahu aku paling benci di bohongi. Kau sahabatku. Susi juga sahabtku. Aku tidak ingin berada di tengah polemik cinta kalian. Karena itu aku menyarankan padamu, putuskan Susi. Jangan ganggu dia lagi…”
“Aku tidak bisa. Aku masih sangat mencintainya..”
“Susi juga tidak sanggup menyudahi hubungan kalian. Tapi harus ada yang bertindak. Jangan menggantung seperti ini. Kalian harus move on. Kalau tidak ada lagi kesesuaian kenapa harus di pertahankan?”
“Njiir Maya! Kau pasti kebanyakan nonton drama korea…” sela Gunawan. “Jujur aku sedang dalam dilema. Aku jatuh cinta pada seorang gadis, tapi aku juga masih mencintai Susi..”
“Apakah Saskia?”
Dengan ragu Gunawan mengangguk.
Aku menatapnya penuh selidik, “jadi tuduhan Susi benar? Kau selingkuh?”
“Tidak seperti yang di tuduhnya. Saskia hanya minta bantuanku untuk menyelesaikan beberapa soal biologi dan membuat laporan praktikum. Itu saja. Tidak terjadi apa-apa antara kami..”
Aku menggeleng tak percaya, “tadi kau menyangkal kalau selingkuh. Sekarang kau mengaku kalau jatuh cinta pada Saskia. Mana yang benar Gun? Dulu kau playboy..sekarang kau Donjuan… nanti apa lagi? Casanova? Sampai kapan kau akan terus begini? Kurang apa Susi? Dia cantik, baik hati, tulus mencintaimu.. apalagi?”
“Aku hanya ingin bicara dengannya sekali saja. Ku mohon! Bantu aku maya…”
Aku menggeleng, “aku tidak mau ikut campur lagi. Kau sudah melampaui batas. Susi sahabatku, Gun. Aku sedih melihatmu menduakan cintanya. Jauhi dia dan jangan dekati lagi..!”
Lalu aku bangkit hendak beranjak pergi. Tapi Gunawan menahanku, “tapi Maya…”
Aku menatapnya tajam, “tidak ada tapi-tapian. Kau harus memilih, Saskia atau Susi…! Jangan serakah!” Ucapanku sambil beranjak pergi menuju kasir kantin untuk membayar makanan dan minuman yang kami makan. Lalu tanpa basa basi lagi aku bergegas pergi. Dari sudut mataku aku melihat Gunawan duduk termangu dalam binggung…
Itu terakhir kalinya aku bertemu Gunawan. Karena setelah hari itu aku mendapat kabar kalau ibuku sakit dan aku harus pulang….